Lombok (ekbisntb.com) – Ekonom Universitas Mataram, Dr. Iwan Harsono, menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Prof. Muhammad Tito Karnavian terkait kontraksi ekonomi NTB sebesar -1,47 persen pada Triwulan I 2025. Ia menyebut penurunan tersebut sebagai “statistical illusion” karena dominasi sektor pertambangan yang bersifat volatil dan tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil masyarakat.
Pernyataan Mendagri disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2025, Senin, 26 Mei 2026. Dalam forum tersebut, Mendagri menyoroti kinerja ekonomi NTB yang dinilai lemah, meski wilayah ini hanya terdiri dari dua pulau, Lombok dan Sumbawa.

“Pertumbuhan ekonomi satu persen saja sangat berarti bagi rakyat. Jika minus, ini sinyal bahaya,” ujar Mendagri.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Iwan menekankan pentingnya melihat pertumbuhan ekonomi tanpa sektor tambang. “Jika dilihat dari sektor non-tambang, NTB justru mencatat pertumbuhan positif sebesar 5,57 persen pada Triwulan I 2025. Ini naik dibanding Triwulan I 2024 (4,65 persen) dan Triwulan I 2023 (3,01 persen),” jelasnya.
Menurutnya, sektor pertambangan seperti yang dikelola PT Amman Mineral di Sumbawa Barat memang menyumbang besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), namun kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat sangat terbatas karena padat modal dan minim penyerapan tenaga kerja lokal.
“Sektor ini juga sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga global komoditas seperti tembaga dan emas, serta kebijakan pusat terkait larangan ekspor konsentrat mentah,” tambahnya. Kebijakan tersebut berdampak pada penurunan ekspor dan produksi tambang di NTB hingga 30,14 persen, yang kemudian menyeret pertumbuhan ekonomi keseluruhan ke angka negatif.
Sebaliknya, sektor-sektor non-tambang seperti pertanian, perdagangan, transportasi, jasa, dan konsumsi rumah tangga tumbuh stabil dan menyerap tenaga kerja terbesar di NTB. Sektor-sektor ini dinilai lebih merepresentasikan kesejahteraan masyarakat.
Dr. Iwan juga menyarankan agar penilaian terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat NTB tidak hanya bertumpu pada angka pertumbuhan agregat. Ia mengusulkan indikator tambahan seperti pengeluaran per kapita (PPP), tingkat kemiskinan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Gini Ratio.
Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi NTB dengan sektor tambang tercatat sebesar 3,57 persen pada 2023, naik menjadi 4,75 persen pada 2024, namun anjlok menjadi -1,47 persen pada 2025. Sementara itu, tanpa sektor tambang, pertumbuhan ekonomi NTB adalah 4,65 persen (2023), 3,01 persen (2024), dan naik menjadi 5,57 persen (2025).
Ia menyimpulkan bahwa Pemerintah Provinsi NTB di bawah kepemimpinan Gubernur Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur Hj. Indah Damayanti Putri, S.E., mengawali masa jabatan dengan capaian positif dalam sektor ekonomi riil.
“Kami perlu jujur secara akademik dalam menginterpretasikan data. Evaluasi kebijakan publik harus berdasarkan indikator yang mencerminkan realitas ekonomi rakyat,” pungkasnya. (bul)