PERMINTAAN kunjungan ke Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) terus meningkat. Namun, karena mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, jumlah kunjungan pendakian dibatasi sebanyak 700 orang per hari dari enam pintu masuk.
Terkait dengan kebijakan tersebut, guru besar Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Pascasarjana Universitas Mataram (Unram) Prof. Dr. Markum mengatakan, dirinya sangat setuju dengan adanya pembatasan jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNGR. Langkah ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan kawasan sebagai destinasi ekowisata.

“Daya dukung kawasan harus diperhitungkan secara cermat dengan memperhatikan aspek ketersediaan ruang, sarana dan prasarana sanitasi, sumber daya air, rasio jumlah pengelola dengan jumlah pengunjung, serta kapasitas penanganan sampah. Tanpa pembatasan yang jelas, tekanan terhadap lingkungan akan meningkat dan berisiko merusak keindahan serta fungsi ekologis TNGR dalam jangka panjang,“ kata Markum Minggu 20 April 2025.
Dalam konteks ekowisata kata Markum, pembatasan jumlah kunjungan tidak hanya berkaitan dengan konservasi, tetapi juga untuk menjamin faktor keamanan, kenyamanan, kebersihan, dan kemudahan pemantauan di lapangan. Jika kunjungan wisatawan melampaui kapasitas daya dukung, maka akan berimbas pada buruknya sanitasi seperti buang air sembarangan, sampah berserakan dan perilaku vandalisme yang tidak terkontrol.
Menurutnya, dengan jumlah wisatawan yang terkontrol, pengelola dapat lebih optimal dalam memastikan bahwa jalur pendakian tetap aman, fasilitas sanitasi terjaga kebersihannya, serta potensi gangguan terhadap flora, fauna, dan ritus keagamaan masyarakat lokal dapat diminimalkan. Pembatasan seperti ini justru menjadi cerminan dari pengelolaan wisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Apakah memungkinkan jika kuota jumlah wisatawan ditambah, misalnya menjadi 1.000 orang per hari? Menurut Prof. Markum, hal ini harus dicermati berdasarkan dasar pembatasan yang selama ini diterapkan.
Jika pembatasan dilakukan karena terkait dengan rasio jumlah pengunjung dan ruang yang tersedia, maka penambahan kuota sulit dilakukan. Namun, jika pembatasan berkaitan dengan rasio pengunjung terhadap ketersediaan sarana dan prasarana seperti area camping ground, jalur trekking, sarana toilet, jumlah pos, sarana pengelolaan sampah serta rasio pengunjung dengan jumlah pengelola, maka tambahan kuota masih dimungkinkan. Caranya adalah dengan menambah jumlah fasilitas dan personel pengelola TNGR.
Lebih lanjut Prof. Markum menegaskan bahwa Keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan seperti TNGR memerlukan kolaborasi antara pengelola, wisatawan, masyarakat lokal, dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan kerja sama yang solid dan pengelolaan yang berbasis pada prinsip keberlanjutan, keindahan dan kesakralan Rinjani akan tetap terjaga bagi generasi mendatang.
Ketua Fordas LH Provinsi NTB ini mengatakan, TNGR telah diakui sebagai salah satu lokasi pendakian terindah di Indonesia. Keindahan alamnya menghadirkan kombinasi luar biasa antara lanskap pegunungan yang dramatis, jalur trekking yang menantang, dan keanekaragaman hayati tanaman yang memikat. Salah satu daya tarik utama di kawasan ini adalah Danau Segara Anak, yang terletak di dalam kaldera Rinjani dan menjadi destinasi ikonik bagi para pendaki.
Lebih dari sekadar destinasi wisata, TNGR juga memiliki dimensi spiritual dan budaya yang kuat. Danau Segara Anak dikenal sebagai tempat suci bagi masyarakat Hindu Bali dan Sasak, yang rutin mengadakan ritual keagamaan di sekitarnya.
Kawasan ini juga sarat dengan legenda lokal, salah satunya adalah kisah Dewi Anjani, tokoh mistis yang diyakini sebagai penunggu Gunung Rinjani dan menjadi bagian penting dari kepercayaan masyarakat setempat. Nilai-nilai sakral inilah yang memperkaya makna kawasan TNGR, menjadikannya tidak hanya penting secara ekologis, tetapi juga sebagai ruang spiritual dan budaya yang harus dijaga kelestariannya.(ris)