spot_img
26.5 C
Mataram
BerandaBisnisKrisis Air Masih Tanpa Solusi, Perhotelan di Gili Terawangan Mode ‘’Defense’’, Menunggu Saatnya...

Krisis Air Masih Tanpa Solusi, Perhotelan di Gili Terawangan Mode ‘’Defense’’, Menunggu Saatnya Tutup Usaha

Tanjung (ekbisntb.com) – Krisis air bersih hingga hari ke 4 pasca putus distribusi oleh PDAM Amerta Dayan Gunung, masih belum menemukan solusi. Hotel-hotel pun terpaksa menerapkan mode defensif (bertahan), namun sembari menunggu masanya untuk tutup usaha.

Hingga Rabu 26 Juni 2024, Pemda Kabupaten Lombok Utara (KLU) belum mengambil keputusan solutif di luar ketergantungan pada MoU Persuda milik daerah – PDAM dengan PT. TCN. Kendati demikian, upaya dikabarkan sedang dilakukan. Dimana, Bupati, Manajemen PDAM beserta beberapa Kepala OPD berangkat ke Bali.

“Kami mendapat info kalau Pak Bupati, didampingi PDAM, Kadis Perhubungan, Kepala Bappeda, Dinas PUPR dan Manajemen TCN sedang di Bali. Kita doakan, lobi ke PSDKP Benoa di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, memberi lampu hijau untuk beroperasi,” ungkap Ketua Komisi II Bidang Pariwisata dan Ekonomi – DPRD KLU, Hakamah, S.KH., kemarin.

DPRD ikut prihatin dengan kondisi krisis air yang menimpa masyarakat dan pengusaha. Lambatnya pengambilan keputusan Pemda, membuat masalah ini terus berlarut. Sebagai kebutuhan dasar, ketiadaan air bersih berdampak langsung terhadap hidup matinya usaha pariwisata.

Sementara, Ketua PHRI Lombok Utara sekaligus Ketua Gili Hotel’s Association (GHA), Lalu Kusnawan, mengamini dampak buruk yang dihadapi para pengusaha pariwisata akibat tidak adanya suplai air dari PDAM. Harga air mulai melambung.

“Sekarang ini harga air galon naik menjadi Rp 35 ribu. Air kemasan kotak juga naik antara Rp 100 ribu, sampai Rp 150 ribu, tergantung ongkos angkut,” ujar Kusnawan.

Ia mengajak semua pihak agar menyamakan persepsi agar solusi jangka pendek dapat dihadirkan pemerintah. Ancaman banyaknya wisatawan yang akan kembali dari Gili Trawangan, untuk sementara dapat ditanggulangi. Namun mengantisipasi kondisi krisis yang terus menerus terjadi, pada akhirnya akan memaksa para pengusaha untuk menutup usahanya.

“Mulanya banyak tamu yang akan kembali, tetapi kita sikapi dengan saling bantu antar hotel. Komplain di satu hotel ditanggulangi dengan mengoper tamu ke hotel lain,” ujarnya.

Upaya defensif yang diterapkan oleh pengusaha hotel dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya,. mencampur air sumur payau dengan air laut. Semata-mata dilakukan agar tamu tidak pergi dan hotel dapat beroperasi.

“Beberapa hotel bahkan mempertaruhkan mesin dan peralatannya hanya untuk bertahan. Water heater misalnya, yang sejatinya tidak boleh kena air payau, terpaksa digunakan,” ucapnya.

GM Hotel Wilson’s Retreat ini bersyukur, antar manajemen hotel rata-rata kompak untuk saling bantu menampung keluhan tamu. Meski Pemda dinilai lambat, namun GHA melihat kondisi krisis air ini secara positif.

“Bahwa beban ini bukan hanya tanggung jawab Pemda tetapi semua, lebih-lebih manajemen juga perlu memberi makan banyak karyawan. Kami sudah trauma dengan 2 kejadian sebelumnya, yaitu Gempa dan Covid. Sehingga dengan kondisi ini, kami mencoba bertahan.”

“Iya, kami saling bantu, sampai sejauh kami bisa bertahan, sampai titik darah penghabisan. Tidak tahu untuk berapa lama. Kalau pun kondisi ini berlama-lama, maka kami harus tutup walaupun kami tahu risikonya sangat besar,” cetusnya.

Lebih lanjut, Kusnawan menyatakan pihaknya tidak ingin terjebak pada perdebatan sebab akibat beroperasinya TCN terhadap dampak lingkungan. Sebab manajemen hotel dan masyarakat, berkontrak dengan PDAM, bukan dengan TCN.

“Terlepas dari TCN TCU, TCD, kami berkontrak dengan PDAM. Apakah benar PDAM atau Pemda mau merusak? Dan, kalaupun terjadi kerusakan, apakah benar akibat ekses atau saat konstruksi TCN,” tanyanya.

Ia mengingat pula, bahwa pada 13 Juni lalu, telah dipaparkan bahwa dinamika yang terpublish bukan akibat dari pada hasil buangan air laut, melainkan pengeboran yang dilakukan perusahaan. Di saat bersamaan, PDAM sendiri mengatakan semua limbah akan dibersihkan. Begitu pun instansi lain yang hadir, komitmen lingkungan harus dijaga dengan proses pemulihan kembali.

Artinya bagi Kusnawan, akar masalah telah disanggupi untuk diselesaikan sehingga krisis air saat ini harusnya bisa dibijaksanai. “Saat alam Gili Trawangan ini rusak, maka apa yang menjadi daya tarik?Tidak ada.”

“Cuma kembali lagi, air ini kebutuhan orang banyak. Ibarat kata, hatta sebuah pohon itu melindungi, tetapi dengan menebangnya menyelamatkan orang banyak, maka tidak ada pilihan lain. Bagaimanapun, harus ada trust juga kepada pemerintah dilihat dari solusi atas sebuah permasalahan,’’ sarannya. (ari)

Artikel Yang Relevan

Iklan

spot_img

Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut