APBD 10 Pemda Kabupaten/Kota dan Provinsi NTB pada triwulan I 2025 mengalami kontraksi sebesar 22,32 persen (YoY) di sisi pendapatan. Sebab realisasi pendapatn mencapai Rp2,407 triliun atau 9,22 persen.
Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan (DJPb) NTB Ratih Hapsari Kusumawardani mengatakan, penurunan ini bersumber dari seluruh komponen pendapatan, baik PAD minus 12,51 persen, pendapatan transfer dari pemerintah pusat minus 23,26 persen, maupun komponen lain-lain PAD yang sah yang mencatatkan penurunan signifikan.
“Kondisi ini menjadi tantangan struktural dalam optimalisasi pendapatan daerah, khususnya terkait akurasi basis data wajib pajak, penyesuaian regulasi retribusi, dan keterlambatan penyaluran Transfer ke Daerah (TKD) akibat perubahan pola penjadwalan oleh pemerintah pusat,”kata Ratih Hapsari Kusumawardani dalam keterangannya, Jumat 25 April 2025.
Pada sisi belanja, realisasinya mencapai Rp1,456 triliun atau 5,57 persen dari pagu, terkontraksi 28,41 persen yoy. Penurunan signifikan terjadi pada belanja transfer yaitu minus 83,96 persen, belanja barang dan jasa minus 28,20 persen, dan belanja pegawai minus 17,78 persen.
Ratih mengatakan, adanya kontraksi ini terindikasi adanya pola penyesuaian belanja pada awal tahun, baik karena siklus administratif seperti proses pengadaan barang/jasa yang belum rampung, maupun adanya kehati-hatian dalam mengeksekusi belanja operasional. Hal ini sejalan dengan kebijakan efisiensi belanja pemerintah dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025.
“Meskipun demikian, belanja modal menunjukkan kenaikan sebesar 5,74 persen, sebagai komitmen daerah dalam pembangunan infrastruktur jangka panjang,” katanya.
Ia menambahkan, dengan target pendapatan sebesar Rp26,11 triliun, APBD 11 Pemda di NTB tahun 2025 dirancang dalam posisi defisit sebesar Rp30,45 miliar. Namun, realisasi
fiskal hingga akhir triwulan I justru menunjukkan kondisi surplus kas sebesar Rp951 miliar, yang turut didukung oleh SILPA tahun-tahun sebelumnya yang masih tersedia sebesar Rp914,02 miliar.
Ratih mengatakan, kondisi surplus anggaran saat ini memberi ruang fiskal yang strategis bagi pemerintah daerah untuk mengakselerasi program prioritas secara terarah dan berdampak langsung ke masyarakat.
Manajemen kas yang cermat dan produktif menjadi kunci, terutama dalam mengelola saldo kas daerah agar tidak sekadar menjadi idle cash di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), melainkan dapat dimanfaatkan melalui skema pembiayaan inovatif seperti dana abadi daerah, penyertaan modal ke BUMD, atau pembiayaan program pemberdayaan UMKM dan ekonomi lokal.
“Dengan perencanaan dan eksekusi yang tepat, belanja daerah tidak hanya menjadi instrumen belanja, tetapi juga motor penggerak ekonomi daerah yang mendorong pertumbuhan inklusif dan menurunkan kesenjangan antarwilayah,” sarannya. (ris)