Penurunan kunjungan wisatawan ke Mataram dan daerah lain di NTB membuat tingkat hunian hotel merosot tajam. Kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat dan daerah disebut berdampak terhadap tingkat hunian dan pelaksanaan event di hotel. Sejumlah hotel mulai mempertimbangkan efisiensi tenaga kerja hingga potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika kondisi terus berlarut.
INDUSTRI perhotelan di Kota Mataram, khususnya sedang menghadapi masa sulit. Minimnya tamu yang menginap dan pelaksanaan Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE) dituding jadi penyebab.
Humas Representative Asosiasi Hotel Mataram (AHM), Fajar Ashidiqi, mengungkapkan okupansi harian hotel-hotel anggota AHM berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Mereka harap-harap cemas melihat okupansi harian saat ini.
Menurutnya, salah satu penyebab dari rendahnya kunjungan wisatawan adalah melemahnya daya beli masyarakat. Harga tiket pesawat yang masih tinggi serta kebutuhan pengeluaran harian selama berlibur menjadi pertimbangan masyarakat untuk menunda rencana wisata.
“Orang-orang sekarang menahan diri untuk membelanjakan uang di luar kebutuhan primer. Liburan menjadi pilihan terakhir,” ungkapnya.
Hal ini mengakibatkan, sejumlah hotel mulai mempertimbangkan langkah efisiensi terhadap tenaga kerja yang mereka punya. Seperti pengurangan jam kerja karyawan hingga berpotensiPHK. Menurut Diky, pihak AHM masih dalam tahap pembahasan dan pertimbangan terkait efisiensi karyawan, dengan harapan tidak sampai pada terjadinya.
“Untuk saat ini yang bisa kami informasikan, kita dalam statement bahwa AHM masih berusaha untuk menjaga stabilitas operational yang sehat. Kalaupun nantinya akan ada PHK kita berharap kondisinya tidak akan separah seperti semasa Covid-19,” terangnya.
Ia menambahkan, AHM tidak tinggal diam dalam menghadapi situasi ini. Upaya promosi telah dilakukan, salah satunya dengan menggelar sales mission ke Banjarmasin pada pertengahan Maret 2025 lalu, menyusul pembukaan rute penerbangan langsung Banjarmasin–Lombok. Strategi ini ditujukan untuk membuka pasar wisatawan baru dari Kalimantan Selatan. Namun, dampaknya belum terlalu terasa dalam jangka pendek.
Ketua AHM, Made Adiyasa, menyebut langkah merumahkan karyawan bisa saja diambil jika situasi ini terus berlarut. Namun, sejauh ini belum ada laporan resmi mengenai karyawan hotel yang dirumahkan. Meski begitu, tanda-tanda penyesuaian operasional mulai terlihat.
“Saat ini yang sudah terjadi adalah pengurangan jam kerja dan penundaan pembayaran service charge. Untungnya para pekerja memahami situasi yang sedang terjadi. Yang penting mereka masih bisa bekerja,” katanya.
Namun, ia mengakui bahwa jika kondisi ini berlangsung lebih lama, maka langkah merumahkan karyawan kemungkinan besar akan diambil. “Tapi kalau kelamaan, nanti pasti akan terjadi juga merumahkan karyawan,” tutupnya.
Dalam situasi sulit seperti sekarang ini, perhatian dan dukungan pemerintah sangat dibutuhkan. Namun hingga saat ini, belum terlihat ada upaya nyata dari Pemkot Mataram untuk merespons kondisi tersebut.
“Sampai hari ini, belum ada pembicaraan dan pertemuan resmi antara AHM dan Pemkot Mataram. Terkait bagaimana pelaku industri perhotelan bisa bertahan di situasi seperti ini,” ungkap pemilik Hotel Nutana, Senin, 21 April 2025.
Ia juga menambahkan dirinya telah mengirim surat kepada Wali Kota Mataram sebanyak dua kali sejak akhir 2024 untuk mengusulkan pertemuan, namun tak mendapat tanggapan. “Sejak akhir tahun lalu saya sebagai Ketua AHM sudah menyurati Wali Kota sebanyak dua kali untuk bertemu, tetapi tidak ada respons apapun. Di keadaan okupansi yang menurun ini kami belum kembali menyurati, karena tidak adanya respons yang di akhir tahun itu,” ujarnya.
Menurut Adiyasa, dalam pertemuan terakhir AHM bersama para anggotanya pekan lalu, salah satu poin utama yang dibahas adalah pentingnya strategi pariwisata yang jelas dari pemerintah.
“Kami siap menyesuaikan arah kebijakan pemerintah. Kalau pemerintah mau ke kiri, kami ikut ke kiri, supaya sejalan arahnya,” sebutnya.
Ia memprediksi, jika hingga Juni 2025 okupansi tetap tidak membaik, maka efisiensi juga akan diterapkan oleh pihak hotel. Bentuknya bisa berupa pengurangan jam kerja hingga yang terburuk adalah pemutusan hubungan kerja.
“Kalau kondisi seperti ini tetap dipertahankan, kita tinggal nunggu selesai. Jangan sampai karyawan hotel sampai dirumahkan. Karyawan itu tidak menuntut macam-macam. Mereka masih bekerja saja sudah syukur,” ucapnya.
Oleh sebab itu, dengan kondisi okupansi yang menurun drastis yang artinya pemasukan pun menurun. Para pelaku hotel berharap adanya bantuan dari pemerintah, misalnya relaksasi atau penundaan pajak seperti PBB, PB1, dan beban listrik dan air, demi kelangsungan usaha.
“Di situasi seperti ini, beban pajak yang tetap tinggi di tengah penurunan kunjungan wisatawan, kami harus putar otak. Saat ini kami bukan sedang cari untung, tapi sedang berusaha bertahan hidup,” tegasnya.
Adiyasa juga menekankan bahwa sektor perhotelan merupakan salah satu penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan. Oleh karena itu, para pelakunya berharap pemerintah tidak hanya mengambil manfaat, tetapi juga memberikan dukungan.
Meski demikian, di tengah situasi yang sulit, para pelaku usaha perhotelan yang tergabung dalam AHM justru mempererat solidaritas antaranggota. Mereka tidak lagi melihat satu sama lain sebagai pesaing.
“Kami menyadari bahwa apabila ada satu hotel yang terpaksa menutup operasionalnya, hal tersebut dapat menciptakan citra negatif seolah-olah Kota Mataram tengah mengalami krisis ekonomi atau darurat bisnis. Oleh karena itu, komunikasi antaranggota dan upaya bersama dalam mencari solusi menjadi prioritas kami demi menjaga keberlangsungan industri secara keseluruhan,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan, ketika setiap bulan, pihak Badan Pusat Statistik (BPS) rutin melakukan pendataan tamu hotel, dan sering kali mereka mempertanyakan mengapa tingkat hunian hotel tampak sepi. Hal ini tentu menjadi tanda tanya, terlebih di tengah klaim keberhasilan mendatangkan sekian juta wisatawan. Kenyataannya tidak sejalan. Kalau memang jumlah kunjungan besar, tentu dampaknya akan terasa pada sektor perhotelan dan ekonomi lokal. (hir)