Di era digital yang serba cepat ini, kemudahan akses terhadap layanan keuangan menjadi pisau bermata dua. Salah satu fenomena yang semakin mengkhawatirkan adalah maraknya jerat pinjaman online (pinjol). Pinjol, awalnya digadang-gadang sebagai solusi bagi kebutuhan finansial yang mendesak. Namun, kini justru menjadi perangkap bagi banyak orang. Kenapa?
BUNGA yang sangat tinggi, biaya tambahan yang tak terduga, dan penagihan yang agresif membuat banyak individu terjebak dalam lingkaran utang yang sulit dilepaskan. Di NTB, pembiayaan pinjol sudah lebih setengah triliun. Dan persentase kredit macetnya tertinggi di Indonesia. Fenomena ini bisa memprihatinkan jika tidak ditangani secara serius. Pemerintah dan otoritas terkait mesti mencari jalan terbaik agar tidak semakin banyak masyarakat yang terjebak dalam pinjol, khususnya bunga pinjol yang terus bertambah. Jika ini terjadi, maka pinjaman masyarakat akan berat.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada posisi Juli 2024, total outstanding pinjaman online masyarakat NTB sebesar Rp634 miliar. Dengan TWP90 atau kredit macet dengan jangka waktu pengembalian 90 hari mencapai 4,92 persen.
Sementara di Pulau Jawa dengan populasi penduduk yang jauh lebih besar, TWP90-nya hanya 3,15 persen secara rata-rata pada bulan Januari hingga Juli 2024.
Kepala Kantor OJK Provinsi NTB, Rudi Sulistya mengklaim, tren peningkatan pinjaman masyarakat NTB di pinjaman online menunjukkan bahwa, awareness dan pengetahuan masyarakat terhadap layanan pinjaman online yang legal (resmi) juga meningkat.
“Masyarakat sudah mulai memahami mana pinjol legal dan ilegal. Sehingga masyarakat kita cenderung memilih layanan pinjol yang legal,” ujarnya.
Meski demikian, kata Rudi, masyarakat harus melakukan pengelolaan keuangan yang baik dan memastikan diri punya kemampuan untuk membayar pinjol.
“Meskipun minjam secara online, harus bayar. Karena ini pinjaman, bukan hibah,” jelas Rudi pada Ekbis NTB pekan kemarin.
Ditambahkannya, pinjol sebaiknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak dan tidak konsumtif.
Masyarakat menurutnya perlu memahami, bahwa ada konsekuensi jika pinjaman onlinenya tidak dibarengi dengan pemenuhan kewajiban sebagaimana syarat dan ketentuan yang disepakati saat melakukan pinjaman.
“Jangan dikira, karena akad dan transaksinya lewat online, kemudian tidak bayar cicilan. Risikonya, masyarakat yang bersangkutan akan diblack list dalam fintech data center. Tidak bisa minjam lagi di pinjol legal lainnya,” tambahnya.
Rudi menegaskan kembali, soal tingginya kredit macet masyarakat NTB di pinjol tertinggi secara nasional. Namun tren penyaluran kredit pinjol yang bermasalah di NTB terus menurun setiap bulannya.
OJK Provinsi NTB menggandeng seluruh stakeholder melakukan edukasi kepada masyarakat. OJK bahkan memprioritaskan edukasi masyarakat yang ada di desa-desa dan daerah tertinggal, terluar, dan terpencil. Dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangannya.
“Pinjol resmi atau fintech lending merupakan opsi bagi masyarakat yang terkendala jarak, tidak memiliki jaminan, dan termasuk kategori non bankable, untuk mengakses pembiayaan. Dibanding pinjam ke rentenir atau pinjol ilegal, yang lebih berisiko. Tentu selain itu opsi utamanya adalah lembaga pembiayaan perbankan dan non bank lainnya. Yang jelas, kalaupun minjam di online, harus dipahami bahwa angsuran bunga yang ditawarkan pinjol relatif lebih tinggi dari pada bunga perbankan,” tandasnya.(bul)