INDUSTRI perhotelan di NTB kembali menghadapi tantangan berat menyusul kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan ini diketahui berdampak langsung pada pembatasan kegiatan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) atau pertemuan bisnis, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran yang menjadi salah satu sumber utama pendapatan hotel.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, Ni Ketut Wolini mengungkapkan, hotel dan restoran menghadapi turbulen. Situasi saat ini sangat berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Jika pada periode yang sama tahun lalu tingkat hunian hotel bisa mencapai 60-70%, kini anjlok hingga hanya sekitar 20%.

“Jelas ini akan memengaruhi daya kerja karyawan di hotel. Kalau terus seperti ini, dari mana hotel bisa menggaji dan bertahan? Ujung-ujungnya pasti akan ada efisiensi untuk karyawan,” ujarnya.
Wolini menuturkan bahwa saat pandemi Covid-19, merumahkan karyawan menjadi salah satu solusi yang diterapkan. Namun, untuk kondisi saat ini, PHRI NTB masih akan berdiskusi dengan para anggota untuk menentukan langkah terbaik. Apakah kembali merumahkan atau mengambil opsi PHK. Rapat anggota terkait hal ini akan segera diagendakan.
Dampak penurunan okupansi sebagai efek dari efisiensi anggaran ini, lanjut Wolini, sudah mulai terasa nyata. Meski sempat ada lonjakan okupansi hingga 60-70% saat libur panjang Lebaran, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Setelah Lebaran usai, tingkat hunian hotel kembali merosot tajam.
Menyikapi situasi sulit ini, PHRI NTB berencana untuk melakukan audiensi dengan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal. Tujuannya adalah untuk menyampaikan kondisi riil yang dihadapi industri perhotelan dan mencari solusi bersama.
“Kan kepala daerah harus tahu situasinya, khususnya di industri perhotelan. Karena ada beberapa hotel yang sudah sharing ke saya soal kemungkinan PHK ini,” tegas Wolini.
PHRI NTB berharap pemerintah daerah dapat memahami kondisi ini, terutama mengingat adanya keterbatasan anggaran daerah yang juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi pusat. Wolini juga menyoroti belum optimalnya kegiatan pemerintah yang biasanya turut menggerakkan sektor perhotelan melalui berbagai rapat dan acara.
“Ekonomi kita, daya beli sudah menurun. Biasanya situasi seperti ini kan hotel sudah ramai, kalau hotel sudah ramai, turunannya itu banyak sekali bisa bergerak. Dari supplier–supplier bahan baku, itu pasti bergerak,” imbuh Wolini.
Wolini juga menyinggung bahwa efisiensi anggaran juga telah dilakukan di sektor pariwisata negara lain, terutama dipengaruhi oleh isu global seperti perang dagang yang berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. (bul)