Lombok (ekbisntb.com) – Anggota Komisi VIII DPR RI Dapil NTB 2 Pulau Lombok, Lale Syifaunnufus, mengimbau masyarakat di wilayah Provinsi NTB untuk tidak terprovokasi oleh disinformasi mengenai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Politisi Partai Gerindra ini menjelaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Keputusan tersebut telah disetujui oleh DPR dan pemerintah periode sebelumnya.
“Ini merupakan rancangan kebijakan yang dibentuk pada tahun 2021, tepatnya saat pandemi COVID-19, yang bertujuan untuk menyehatkan keuangan negara. Kebijakan ini akan mulai diberlakukan pada tahun 2025,” ujar Syifa pada Kamis 26 Desember 2024.
Mengenai penolakan terhadap kenaikan PPN, Syifa mengingatkan masyarakat untuk melihat kebijakan pemerintah secara holistik. Menurutnya, kebijakan kenaikan PPN ini bertujuan untuk menjaga stabilitas fiskal nasional.
“Kenaikan PPN 12 persen harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, karena UU ini disusun pada tahun 2021 saat pandemi COVID-19 melanda. Semua negara menghadapi tantangan global yang sama, dan kebanyakan negara juga melakukan hal serupa,” jelasnya.
Syifa menambahkan bahwa kenaikan PPN ini tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 1 persen, mengingat pada tahun 2023 PPN masih dikenakan sebesar 11 persen. “Perlu diingat, setelah pandemi, semua negara berupaya meningkatkan penerimaan negara, salah satunya dengan meningkatkan sektor pajak melalui PPN ini,” tegasnya.
Meski demikian, Syifa juga menegaskan bahwa semua pihak berhak memberikan saran, masukan, dan kritik. “Ini adalah negara demokrasi, kritik dan protes adalah hak yang sah. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak terprovokasi atau memprovokasi pihak lain,” tambahnya.
Sebagai informasi, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai Januari 2025, dari 11 persen menjadi 12 persen. Meskipun demikian, tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.(ndi)