KALANGAN DPRD Provinsi NTB mendukung upaya aparat keamanan dan pemerintah daerah untuk melakukan pencegahan dan penegakan hukum terkait dengan destructive fishing atau penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan alat yang dapat merusak sumber daya ikan maupun lingkungan kelautan.
Anggota Komisi II DPRD NTB H. Abdul Hadi, S.E., M.M., mengatakan, destructive fishing jelas akan mengganggu ekosistem kelautan, terutama terumbu karang tempat berkembangbiaknya ikan. Misalnya penggunaan bom dalam menangkap ikan akan mematikan terumbu karang dalam dalam skala yang sangat merusak. Dampaknya adalah sektor perikanan berkelanjutan di NTB akan terancam.
“Tak hanya soal perikanan berkelanjutan yang akan terganggu, namun kerusakan ekosistem dan berbagai biota laut yang rusak akan mengurangi daya tarik pariwisata di daerah ini,” terang Abdul Hadi kepada Ekbis NTB akhir pekan kemarin.
Menurutnya, Provinsi NTB sebagai destinasi wisata yang kaya dengan potensi bahari sangat berkepentingan dengan kelestarian terumbu karang dan biota laut di dalamnya. Aktivitas diving dan snorkeling adalah salah satu daya tarik wisata di NTB.
Terumbu karang yang sehat dan berkembang dengan baik akan menjadi rumah bagi ribuan spesies ikan. Di sepanjang pesisir NTB, terdapat spot-spot penyelaman favorit wisatawan yang telah merangsang perputaran ekonomi dari bisnis turisme ini. Karena itulah tugas semua pihak untuk menjaga potensi bahari yang kaya ini agar tidak dirusak oleh aktivitas destructive fishing.
Celeg DPR RI terpilih di PKS Dapil Pulau Lombok ini memberikan apresiasi kepada jajaran Direktorat Polairud Polda NTB yang telah mengungkap 9 laporan polisi yang terkait dengan destructive fishing periode Januari – Mei 2024. Di mana pengungkapan kasus ini telah menghasilkan penangkapan sebanyak 23 tersangka. Dalam pengungkapan ini, sejumlah barang bukti vital disita, termasuk 251 buah detonator yang dapat merusak ekosistem laut.
Menurut Hadi, aktivitas destructive fishing harus dihentikan. Terlebih perangkat aturan mulai dari pusat hingga daerah sudah cukup untuk melakukan proteksi dan penegakan aturan di bidang ini.
Misalnya berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasasi, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, apabila diketahui dan didapatkan cukup bukti terdapat oknum masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.
Pelaku destructive fishing juga diminta untuk menyadari bahwa kegiatan yang dilakukannya telah melanggar aturan dan merusak sektor bahari yang menjadi warisan berharga untuk anak cucu di masa mendatang. (ris)
Artikel lainnya….
HNSI NTB akan Gugat UU Nomor 1 Tahun 2022
Pengusaha Perempuan NTB Dukung Rohmi-Firin di Pilkada NTB
Kolaborasi dengan Polda NTB, Ikhtiar APJII Bali Nusra Wujudkan Internet Berkualitas dan Aman