Pemerintah pusat telah memutuskan untuk menghentikan sementara penyaluran bantuan sosial (Bansos) beras selama dua bulan ke depan, yaitu pada Maret dan April 2025. Keputusan ini diambil untuk menjaga stabilitas harga gabah di tingkat petani menjelang panen raya yang akan datang. Mampukah stabilitas harga gabah di tingkat petani tetap terjaga?
“TEMAN saya tidak jadi menjual,” ungkap Siti, salah satu warga yang bekerja di Narmada, Kabupaten Lombok Barat (Lobar) saat dititipi membeli beras pada temannya, Kamis, 13 Februari 2025.


Beras dengan jenis medium dijual seharga Rp 12.500 per kilogram dinilainya cukup murah dibandingkan dengan harga beras dengan jenis serupa di pasaran. “Kalau untuk 25 kilogram biasa dibeli seharga Rp 350 ribu. Tapi di teman itu bisa membeli dengan harga Rp320.000 per 25 kilogram,” ungkapnya.
Karena membeli harga teman, ungkapnya, maka harga yang diberikan jauh lebih murah dibandingkan dengan membeli langsung ke pasaran. Meski demikian, dirinya tiba-tiba dihubungi temannya, jika beras yang dipesan tidak ada. Karena belum digiling, sehingga pesanannya tidak bisa dipenuhi. “Mungkin karena harga beras di pasaran cukup mahal, ya pesanan kita tidak bisa dipenuhi,” keluhnya.
Meski demikian, ia tidak sembarangan membeli beras. Karena sepanjang pengetahuannya banyak beras yang menggunakan bahan pemutih. Untuk itu, dirinya langsung memesan beras pada pedagang atau petani yang memproses produksi beras secara alami.
Dalam hal ini, ia tidak ingin kebijakan pemerintah yang menghentikan penyaluran Bansos selama dua bulan berdampak pada masyarakat kecil. Meski ia tidak mendapatkan bantuan beras dari pemerintah, secara tidak langsung akan berdampak pada kebijakan yang lain, terutama dari sisi harga di pasaran.
Sama halnya dengan Fatmi, salah satu anggota Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Bansos beras mendukung penghentian penyaluran beras sosial. Akan tetapi, penghentian ini harus dibarengi dengan kebijakan lain. Termasuk dengan menurunkan harga beras di angka Rp10 ribu per kilogram seperti beberapa tahun lalu.
Diakuinya, bantuan beras dari pemerintah yang didapatkan setiap bulan cukup membantu mengurangi pengeluaran keluarganya. Namun, kadang kala belum mencukupi kebutuhan selama satu bulan penuh. Oleh karena itu, pihaknya harus membeli lagi dengan harga yang cukup tinggi, yaitu Rp15 ribu per kilogram. “10 kg dapat sebulan sekali. Itupun kadang belum mencukupi. Jadi harus beli lagi,” ujarnya kepada Ekbis NTB, Minggu, 16 Februari 2025.
Menurutnya, harga beras saat ini terlampau tinggi, sehingga dibanding memberikan bantuan ke beberapa masyarakat. Jauh lebih baik pemerintah menurunkan harga beras menjadi Rp10 ribu. Dengan demikian, harga beras berada di titik normal dan mengurangi beban masyarakat.
“Tidak apa-apa tidak dapat bantuan. Asalkan harganya turun. Kalau bisa Rp10 ribu per kilogram, seperti dulu,” sambungnya.
Menurutnya, daripada menyalurkan bantuan yang seringkali salah sasaran, lebih baik menurunkan harga seluruh bahan pokok, sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat. “Kalau turun kan semua bisa menikmati. Misal kita diberikan bantuan 10 kilogram sebulan, selanjutnya kita harus beli lagi untuk mencukupi kebutuhan. Sama saja, kalau dijual Rp10 ribu kan lebih memudahkan,” katanya, seraya mengakui, selain mendapatkan bantuan beras, Fatmi juga mendapatkan bantuan telur dari pemerintah.
Berbeda dengan Patmi, Dea Sari, penerima manfaat bantuan beras sangat merasakan bantuan dari pemerintah tersebut. Pasalnya, dirinya tidak perlu lagi membeli pangan pokok tersebut lantaran sudah tercukupi dengan bantuan 10 kilogram per bulan. Hal ini karena suaminya seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan ia hanya tinggal bersama dengan kedua anaknya.
Dea Sari menyayangkan adanya kebijakan penghentian bantuan beras selama beberapa bulan ke depan. Dengan kebijakan tersebut, mau tidak mau pihaknya harus menambah pengeluaran membeli beras dengan harga yang dinilai cukup tinggi. “Sangat disayangkan. Kemarin saya dengar katanya akan dinaikkan dapat berasnya,” katanya.
Menurutnya, di samping menghentikan penyaluran beras Bansos, pemerintah mestinya memberikan penawaran lain kepada masyarakat, yaitu dengan menurunkan harga beras. “Kalau disetop tidak masalah, asal harga beras diturunkan juga. Sekarang kan harga beras sangat mahal, Rp15 ribu per kilo,” sambungnya.
Dea menyebutkan, pemerintah harus lebih bijak untuk tidak memberatkan masyarakat. Pasalnya, jika bantuan diberhentikan dengan harga yang masih melambung, itu sama saja dengan menambah beban. Harusnya, pemerintah tidak hanya menghentikan satu kebijakan, tetapi mengganti kebijakan dengan yang lebih baik, termasuk dengan menurunkan harga beras.
“Jangan membunuh masyarakat, kalau bisa harganya turun jadi Rp10 ribu per kg, kalau bisa Rp9 ribu. Kalau sekarang kan mahal,” pungkasnya.
Sementara Hamdi, salah satu pedagang beras di Pasar Narmada, menjual beras sesuai dengan harga pasar dan banyaknya permintaan. Diakuinya, ia hanya pedagang yang mengambil beras dari pengusaha yang memiliki penggilingan padi.
Jika ia diberikan harga mahal oleh pengusaha beras, maka mau tidak mau harus menyesuaikan dengan harga jual agar tidak mengalami kerugian. Khusus terkait setok beras di pasaran di tingkat pedagang cukup tersedia, sehingga pihaknya meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan setok beras di pasaran.(era/ham)