Lombok (ekbisntb.com) – Pariwisata Nusa Tenggara Barat (NTB) mendunia sebagaimana visi dalam RPJMD terus digaungkan oleh pemerintah daerah. Namun, di balik ambisi besar itu, masalah-masalah mendasar terkait kepariwisataan justru belum tuntas. Pelaku industri pariwisata menilai, jika masalah yang terjadi di lapangan tak segera diselesaikan, mimpi besar itu bisa mandek di tengah jalan.
Demikian disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, Ni Ketut Wolini. Dalam rapat kerja penyusunan program kerja PHRI NTB yang dihadiri oleh asosiasi perhotelan dan stakeholder pariwisata, salah satu masalah yang disorot adalah lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah.

“Bagaimana sinkronisasi antara stakeholder dengan pemerintah. Harusnya perizinan dipermudah,” ujarnya, Rabu, 25 Juni 2025.
Salah satu persoalan yang menjadi sorotan adalah sinkronisasi perizinan terkait pembangunan hotel bintang lima di kawasan pantai Tanjung Aan, Desa Sengkol Kecamatan Pujut, Lombok Tengah oleh Injourney Tourism Development Corporation (ITDC). “Yang seperti itu perlu kita bahas bersama,” sambungnya.
Selain itu, konflik yang terjadi di Teluk Ekas, Lombok Timur juga harus terselesaikan. Ia menilai, masalah yang melibatkan dua kabupaten yaitu Lombok Timur dan Lombok Tengah ini mencerminkan buruknya komunikasi dan penanganan masalah di sektor pariwisata.
“Itulah masalah kecil itu ya kita harus selesaikan dulu baru kita bisa mendunia. Kalau itu masih ada riak-riak seperti itu bisa saja orang yang ditawarkan enggak datang. Nah harus duduk bareng. Artinya jangan saling salahkan lah. Kita sama-sama punya misi membangun bagaimana pariwisata di NTB ini untuk maju,” jelasnya.
Yang tak kalah menjadi persoalan, kondisi perhotelan saat ini sebab adanya efisiensi. Efisiensi berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 telah menyebabkan lebih dari seribu pekerja berpeluang dirumahkan, mulai dari pegawai kontrak hingga tenaga kerja lepas atau casual.
“Sangat turun (okupansi) daripada yang sebelum efisiensi gitu. Sangat terburuk dan ini kalau terus seperti ini imbasnya akan ke tenaga kerja. Nah sekarang ini kan sudah banyak hotel yang merumahkan karyawan, terutama karyawan kontrak,” jelasnya.
Adapun dengan adanya pelonggaran kebijakan dari Kementerian Dalam Negeri agar pemerintah daerah bisa kembali melakukan rapat di hotel, Wolini sangat menyambut hal ini. Namun, hingga kini belum ada bentuk nyata dari kebijakan kelonggaran tersebut.
“Bagus, cuman kan baru sebatas itu, belum ditindaklanjuti dengan anggaran. Kan kalau umpama, dibuka saja, dibolehkan, tapi kalau anggarannya tidak ada kan sama saja. Kan harus disertai dengan itu,” tuturnya.
Tak hanya itu, tingginya harga hotel juga masih menjadi persoalan. Untuk itu dalam program kerja PHRI tahun ini berupaya untuk menyepakati harga hotel bersama dengan pihak ketiga. “Mereka menaikan rate (harga) di situ. Itulah yang mau kita sikapi bersama,” pungkasnya.
Plh Kepala Dinas Pariwisata NTB, Chandra Aprinova mengatakan seluruh stakeholder di NTB, termasuk PHRI akan berupaya bagaimana memajukan pariwisata NTB ke depan sesuai dengan bidangnya, yaitu pelayanan hotel dan restoran.
Untuk mencapai visi pariwisata mendunia, PHRI wajib meningkatkan pelayanan, mulai dari digitalisasi pelayanan hotel, menjamin keamanan dan keselamatan tamu-tamu hotel dan restoran. “Itu cara kita memberikan pelayanan sehingga kualitas pariwisata kita mendunia,” ucapnya.
PHRI juga didorong untuk menjalin kerja sama dengan PHRI terdekat seperti Bali dan NTT. Sehingga pergerakan wisatawan dari Bali dan NTT bisa masuk radar NTB sehingga kunjungan wisatawan ke daerah ini meningkat.
Terakhir, PHRI diminta untuk bersiap memberikan pelayanan terbaik pada saat event-event besar daerah. “Dalam waktu dekat ada Fornas dan pertemuan Pedanda, nah bagaimana di situ hotel menyiapkan diri mulai dari kebersihannya, kenyamanannya, kebersihannya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mempertahankan standar hotel yang layak dan berkeadilan,” pungkasnya. (era)