Di balik pesona eksotis Sekotong yang terkenal dengan pantai-pantai indah dan gugusan Gili yang memikat, terdapat realitas lain yang jauh dari gemerlap dunia pariwisata. Sebagian warga di daerah ini masih hidup dalam keterbatasan, terutama akses listrik.
Warga Pondok Teres, Desa Buwun Mas Kecamatan Sekotong Barat, Lombok Barat belum seberuntung wisatawan yang datang menikmati keindahan alamnya, sebab hingga kini, listrik dari jaringan utama belum menyentuh banyak rumah warga.

H. Ruslan, tinggal bersama keluarganya di sebuah gubuk sederhana. Di atas punggung bukit nan indah di Sekotong. Gubuknya ada di pinggir jalan beraspal yang menembus Kawasan Pariwisata Strategis Nasional, Mandalika Lombok Tengah.
H. Ruslan tengah duduk berkumpul bersama keluarganya. Di dalam rumah panggung yang sangat sederhana. Satu keluarga ini sedang duduk termenung, menyaksikan hujan. Mereka lantas menggeser tempat duduk, seolah membuka ruang ketika sejumlah wisatawan lokal numpang berteduh di gubuknya, Sabtu, 8 Februari 2025.
Wisatawan lokal ini terdiri dari konsumen loyal sepeda motor Honda, bloger vlogger, komunitas HALO serta KOL tengah menjelajah indahnya Sekotong menggunakan skutik andalan Honda, seperti Honda PCX, ADV, dan Stylo. Mereka baru saja turun dari Tugu Persaudaraan Bikers.
Punggung-punggung bukit di sekotong memang tengah sangat indah, hijau. Di bawah gubuk H. Ruslan, terhampar deburan ombak, dengan air yang hijau, biru, pasirnya putih. Berdiri di depan gubuk H. Ruslan sambil melihat pantai yang sangat indah dibawah, rasanya seperti berada di alam dalam dongeng-dongeng.
Sudah enam tahun keluarga ini hidup dengan kondisi serba terbatas. Tanpa jaringan listrik, satu-satunya harapan untuk penerangan berasal dari panel surya yang dibeli secara mandiri.
“Dulu beli perangkat panel seharga Rp1,5 juta, beli sendiri karena tidak ada jaringan listrik,” ungkapnya.
Namun, panel surya yang dimiliki warga hanya cukup untuk menyalakan satu lampu kecil dengan daya 3 hingga 5 watt.
“Nyala hanya untuk satu balon, kalau accu-nya bagus. Itu saja. Hanya satu balon. Ndak mampu kalau lebih,” tambahnya.
Panel surya ini tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik yang lebih besar seperti kulkas, televisi, atau peralatan elektronik lainnya. Dan keluarga ini memang tak punya perabot-perabot itu.
Kehidupan tanpa listrik juga membuat aktivitas sehari-hari menjadi lebih sulit. Salah satu tantangan terbesar adalah mengisi daya telepon genggam.
“Ada pakai hape, kalau nge-charge turun ke bawah, jarak 1 km. Kadang-kadang bayar, kadang gratis. Setiap hari turun nge-charge. Mau bagaimana lagi, tidak ada listrik,” keluh H. Ruslan.
Kondisi ini tidak hanya dialami oleh H. Ruslan, tetapi hampir semua warga di desa tersebut. Setiap rumah bergantung pada panel surya untuk penerangan di malam hari. Harapan mereka hanya satu, agar listrik segera masuk ke daerah mereka agar kehidupan mereka bisa lebih baik.
“Kalau ndak masuk listrik, tetap begini saja,” ujarnya dengan nada pasrah.
Realitas pahit yang dialami warga Sekotong ini menjadi kontras dengan keindahan wisata yang mereka miliki. Saat para wisatawan menikmati keindahan pantai dengan segala fasilitasnya, warga justru harus berjuang dalam kegelapan di rumah mereka sendiri. Sekotong memang surga bagi wisatawan, tetapi bagi sebagian besar warganya, kehidupan mereka masih jauh dari kata sejahtera.(bul)