spot_img
26.5 C
Mataram
BerandaBerandaTerindikasi Banyak Gagal, Program IB Dipertanyakan Peternak

Terindikasi Banyak Gagal, Program IB Dipertanyakan Peternak

Pemerintah mendorong peningkatan populasi ternak melalui program Inseminasi Buatan (IB), salah satunya di Provinsi NTB. Belakangan, program ini menjadi pertanyaan peternak, karena ada indikasi banyak IB yang gagal. Padahal, sekali IB, peternak harus mengeluarkan biaya minimal Rp200 ribu. Meski semen untuk IB diberi gratis oleh pemerintah daerah.

SEJUMLAH peternak mempersoalkan program IB dalam mempercepat kebuntingan sapi kerap gagal. Program ini dianggap cukup merugikan, karena peternak sudah membayar, kendati oleh pemerintah sudah digratiskan. Bahkan, beberapa peternak mengaku trauma dengan kebijakan IB yang diterapkan ini.

- Iklan -

Seperti peternak di Kabupaten Sumbawa yang mengaku trauma dengan program IB lantaran banyak sapi yang mengikuti program tersebut gagal lahir. Termasuk juga sakit karena dipaksakan meski kondisinya tidak bagus.

PETERNAKAN SAPI – Sapi ternak di peternakan Kelompok Peternak Bunga Lestari, Selong, Kabupaten Lotim. (Ekbis NTB/era)

“Khusus di Sumbawa kan banyak sapi yang dilepasliarkan. Sehingga pada saat dikawin IB banyak terjadi kasus sapi ini gagal lahir. Ini yang kemudian membuat peternak trauma,” kata salah satu peternak Rusdi Darmawansyah kepada Ekbis NTB, kemarin.

Rusdi melanjutkan, persoalan lainnya yakni kondisi sapi yang tidak cukup bagus tetapi tetap dipaksakan untuk menerima program IB. Hal tersebut mengakibatkan sapi tersebut turun brok dan sudah lumayan banyak kasus seperti itu terjadi di Sumbawa.

“Akibat dipaksakan, jadi sapi induk ini tidak bisa dipakai dalam jangka panjang yang berdampak pada pemotongan sapi betina induk,” ucapnya.

Meski menjadi persoalan, namun Rusdi mengaku di awal program tersebut (IB) sangat bagus diterima oleh peternak. Tetapi setelah ada kejadian anak sapi tidak bisa lahir dan induknya menjadi korban salah satunya rahimnya rusak sehingga peternak trauma.

“Memang di awal respons masyarakat sangat bagus, tetapi seiring berjalannya waktu dan banyaknya persoalan, sehingga peternak trauma dengan program tersebut,” tambahnya.

Sebagai peternak, Rusdi mengakui tidak pernah mengikuti program IB karena melihat banyak persoalan yang timbul. Bahkan sudah beberapa kali disosialisasikan pemerintah, namun dirinya tetap menolak dengan alasan ingin menjadi sapi yang diternak. “Sejak awal saya sangat menolak program IB ini, karena hal itu saya anggap melanggar kodrat sapi jantan (kawin secara normal tanpa dipaksakan),” ujarnya.

Rusdi turut menyarankan agar pemerintah jika ingin sektor peternakan ini terus berkembang dengan memperbanyak bantuan pejantan super. Jangan memberikan IB, karena akan memberikan dampak yang tidak baik bagi peternakan di kabupaten.

“Sapi kita (Sumbawa) saat ini menjadi primadona di Jawa dan Sumatera dibandingkan dengan sapi Bali dari segi kualitas,” klaimnya.

Dirinya pun tidak menginginkan adanya pergeseran mindset di sektor peternakan seperti yang terjadi di sektor pertanian. Jika petani ingin mendapatkan hasil yang bagus baik padi maupun jagung harus menggunakan pupuk sehingga menimbulkan ketergantungan terhadap obat-obatan jauh dari pola kearifan lokal jaman dahulu.

“Saya menolak IB karena saya tidak ingin nasib peternakan sama dengan pertanian yang bergantung pada obat-obatan yang akhirnya juga akan merusak,” tambahnya.

Disinggung terkait adanya pungutan sejumlah uang untuk bisa menerima program tersebut, Rusdi mengaku banyak menerima informasi demikian. Namun untuk kepastian angka nominal meski sebenarnya program tersebut gratis tanpa ada pungutan.

hal serupa juga dialami Udin, salah satu pemilik ternak di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) yang beberapa kali gagal bunting setelah dilakukan IB.

“Sapi saya dua kali di-IB, ndak bisa-bisa bunting. Saya pertanyakan kualitas sperma indukan yang digunakan untuk IB. kita ndak tahu apakah benar yang disuntikkan itu sperma atau air. Kan peternak ndak tahu soal itu,” ungkapnya belum lama ini.

Padahal, jelas-jelas saat dilakukan IB, ternak miliknya sudah terindikasi birahi.  Yang ditunjukkan dengan ciri-ciri fisik sapi nampak gelisah, sering mengeluarkan suara yang spesifik, sering mengibas-ngibaskan ekornya, vulva bengkak berwarna agak kemerahan, keluar cairan putih agak pekat pada alat reproduksi sapi.

“Apa iya, sampai dua kali di IB ndak bisa – bisa bunting ternaknya. Ini merugikan peternak, karena sekali IB harus mengelurkan Rp200 ribu kepada petugas IB. Paman saya sampai jual ternak betinanya karena ndak bisa bunting dengan IB, diganti dengan sapi jantan,” tambahnya.

Udin juga mempertanyakan mana saja petugas IB yang ditugaskan oleh pemerintah yang dianggap gratis. “Kita ndak tahu juga, mana petugas IB yang benar-benar petugas pemerintah, atau petugas mandiri. Jangan-jangan program IB ini hanya bisnis,” katanya.

Terpisah, Mad, salah satu tokoh masyarakat di Kabupaten Lombok Barat (Lobar) juga menyampaikan hal yang sama. Sejumlah peternak di wilayahnya juga mendengar informasi seringnya gagal program IB dari peternak-peternak lain.

“Peternak di tempat saya juga mendapatkan informasi soal kegagalan IB. Peternak sudah bayar untuk IB, tapi tidak sukses. Jadi mikir-mikir peternak, soalnya bayar. Bayangkan kalau Rp200 ribu sekali IB, bagi peternak kan mahal ini,” kata Mad.

Karena informasi dari pengalaman-pengalaman kegagalan IB yang didengar dari peternak lain yang sudah melakukan IB. Peternak lainnya mengurungkan niat untuk IB dan lebih memilih kawin ternaknya kawin secara alami.

Begitu juga dengan Kelompok Peternak Bunga Lestari Lotim. Mereka tidak setuju adanya program IB pada ternak. Hal ini karena banyaknya kasus sapi kritis akibat tidak bisa melahirkan sapi hasil dari IB. Selain itu, bayaran Rp200.000 per sekali suntik juga memberatkan peternak, pasalnya peternak harus mengeluarkan uang, namun tidak mendapatkan hasil.

“Tiga tahun lalu, pernah dia nyoba suntikan IB ini di sapi yang siap mengandung dan melahirkan, namun gagal,” kata, Abdul Rauf, anggota kelompok ternak Bunga Lestari, Sabtu, 8 Juni 2024.

Diakuinya, setelah adanya Penyakit Mulut dan Kuku yang menyerang ternak, rata-rata ternak kini tidak seproduktif sebelumnya. Sehingga menurutnya, jika pemerintah ingin membantu meningkatkan jumlah ternak, harusnya program IB ini digratiskan.

“Dampak Penyakit Mulut dan Kuku memang sulit sapi untuk berkembang biak, program IB juga tidak menjamin, jadi, daripada peternak rugi, lebih baik pemerintah menggratiskan program ini,” sarannya.

Adapun program IB ini pernah dicoba sebanyak dua kali, dan dua-duanya gagal. Sehingga program ini tidak efektif untuk meningkatkan jumlah dan produktivitas ternak.

Hal yang sama disampaikan, Ketua Asosiasi Jagal Kota Mataram, Pastival Rohyadi. Menurutnya IB ini cocoknya di sapi berukuran besar, sehingga tidak cocok di sapi lokal yang mana ukuran sapi lokal tidak begitu besar.

 “Kecil kalau ke sapi biasa. IB bibitnya besar, makanya kebanyakan enggak bisa keluar (melahirkan) saking besarnya,” lanjutnya.

Pastival menegaskan bahwa pihaknya kurang setuju dengan program ini, mengingat rata-rata sapi lokal tidak sebesar sapi IB, pun dengan bayaran minimal Rp200.000. “Kalau dari saya kurang setuju, banyak sapi yang enggak bisa melahirkan gara-gara suntikan IB, kalau dimasukkan ke Sapi Bali sih ndak masalah,” tutupnya. (ils/bul/era)

Artikel lainnya….

Penyelenggaraan MXGP di Mataram Diizinkan

Hasil RUPS-LB, Jamkrida NTB Konversi Penuh ke Syariah

Investor Jepang Tandatangani Rencana Investasi PLTS 20 Megawatt di Lombok

Artikel Yang Relevan

Iklan






Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini