Lombok (ekbisntb.com) – Anggota DPRD NTB angkat bicara terkait masalah tingginya harga tebus pupuk bersubsidi di beberapa wilayah di NTB. Keluhan ini datang dari para petani yang mengeluh tentang harga pupuk bersubsidi yang melonjak menjelang musim tanam padi tahun ini.
Wakil Ketua DPRD NTB, Lalu Wirajaya, mengatakan pihaknya telah menerima laporan terkait tingginya harga pupuk bersubsidi yang harus ditebus oleh petani. Bahkan, disebutkan bahwa petani harus membeli pupuk bersubsidi hingga Rp300 ribu per kwintal di pengecer.
“Kami rasa jika kelangkaan pupuk masih terjadi dan petani mengeluh tentang harga yang tinggi, berarti ada indikasi adanya ‘mafia’ dalam proses distribusi pupuk,” ujar Wirajaya pada Rabu 8 Januari 2025.
Politisi dari Partai Gerindra itu mengungkapkan bahwa dalam kunjungan Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, ke NTB beberapa waktu lalu, dijelaskan bahwa harga pupuk bersubsidi seharusnya sesuai ketentuan pemerintah, yaitu Rp115 ribu per kwintal. Namun, harga tersebut bisa meningkat menjadi sekitar Rp150 ribu per kwintal untuk menutupi biaya ongkos buruh.
“Jika harga mencapai Rp150 ribu, itu masih wajar karena ada pemangkasan jalur distribusi dari PT Pupuk Indonesia langsung ke pengecer. Tapi, jika di lapangan harganya mencapai dua kali lipat dari harga yang ditentukan, ini sudah termasuk permainan,” tegasnya.
Wirajaya menambahkan, langkah Presiden Prabowo dalam menata pola distribusi pupuk ke petani di daerah-daerah merupakan semangat pemerintah untuk mengatasi kelangkaan pupuk dan memberantas praktik mafia pupuk yang dapat merugikan petani.
Sebagai Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) NTB, Wirajaya berjanji akan mendalami keluhan petani terkait tingginya harga pupuk di kalangan mereka. Dia juga akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan distribusi pupuk di lapangan.
“Kami akan melaporkan hal ini ke DPN HKTI, dan DPN HKTI akan berkoordinasi dengan kementerian terkait. Kami tidak ingin melihat petani terus menjerit,” tegasnya.
Diketahui bahwa alokasi pupuk bersubsidi di NTB sudah didasarkan pada usulan dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK), dan seharusnya tidak ada lagi kelangkaan pupuk di kalangan petani. Namun demikian, pengawasan terhadap praktik distribusi pupuk dan potensi adanya mafia pupuk tetap perlu dilakukan.
“Praktiknya kadang-kadang ada mafia pupuk, dan ini perlu diawasi dengan ketat. Pemerintah, HKTI, dan aparat harus memastikan jalur distribusi berjalan dengan benar,” pungkasnya. (ndi)