spot_img
26.5 C
Mataram
BerandaEkonomiBebani Masyarakat, YLKI Tolak Kenaikan PPN 12 Persen

Bebani Masyarakat, YLKI Tolak Kenaikan PPN 12 Persen

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan penolakan terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku pada awal tahun 2025. Kebijakan ini akan memberi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi.

Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa momen kenaikan PPN itu tidak tepat karena kondisi ekonomi makro di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Meskipun PPN menyasar kelas menengah, namun jika segemen kelas menengah mengurangi belanja lantaran barangnya menjadi lebih mahal, maka yang terkena dampaknya adalah masyarakat berpenghasilan rendah.

- Iklan -

 “Walau PPN menyasar midle class, tapi kalau segmen midle class mengurangi belanja mengingat barangnya mahal krn kena PPN 12%, toh masyarakat low income juga yang akan kena eksesnya. Apalagi fenomena sosial dan ekonomi kelompok midle class sedang drop, malah cenderung semaput,” kata Tulus dalam keterangannya, Kamis 21 November 2024.

Sebagai bentuk penolakannya, YLKI juga sedang membuat petisi dengan judul “Sejuta TTD Konsumen Menolak Kenaikan PPN 12%” di change.org yang dimulai tanggal 22 November lalu. Dalam keterangannya, YLKI menilai kebijakan ini akan memberi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi.

YLKI mengkritisi kebijakan tersebut dengan beberapa poin catatan. Plt Ketua Pengurus Harian YLKI, Indah Suksmaningsih mengatakan, alasa pertama, PPN naik saat ekonomi rakyat sedang sulit. Walaupun kenaikan PPN pada dasarnya diamanatkan dalam UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), YLKI berpendapat, situasi sosial dan ekonomi saat ini membuat kebijakan tersebut tidak relevan.

Kedua, beban Konsumen Makin Berat dan Daya Beli Anjlok. Indah menyebut, kenaikan PPN yang sudah terjadi sebelumnya pada April 2022, dari 10 persen menjadi 11 persen, masih dirasakan berat oleh masyarakat.

Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen. Masyarakat kemungkinan akan menunda atau bahkan membatalkan pembelian barang-barang yang dikenakan PPN tinggi, seperti barang elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga. Dampaknya, dunia usaha dan industri pun akan terimbas, dengan penurunan penjualan yang berujung pada lesunya roda ekonomi.

Ketiga, potensi Ketidakadilan dalam pemungutan pajak. Menurutnya, pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi, sementara pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas. Alih-alih menaikkan PPN, pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang, agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil.

Keempat, potensi Kebingungan tentang Kontrak yang Sudah Ditandatangan. Dirinya memandang, kebijakan tersebut juga menimbulkan ketidakjelasan terkait kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani sebelum 1 Januari 2025, di mana PPN masih berlaku 11 persen.

“Siapa yang akan menanggung selisih harga akibat perubahan tarif PPN ini? Hal ini tentu akan menambah bingung para pelaku usaha dan konsumen,” katanya dalam keterangan resminya.

Kelima, Indah menyebut bahwa seharusnya bukan PPN yang dinaikkan. Selain dari PPN yang merugikan rakyat, pemerintah justru membatalkan atau tidak menaikkan cukai rokok dan minuman manis yang seharusnya bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat.

“Penerapan cukai rokok dan minuman manis juga memiliki manfaat ganda, yaitu meningkatkan pendapatan dan mengendalikan dampak kesehatan. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih rasional dan berimbang perlu diambil oleh pemerintah,” imbuhnya.

Oleh karena itu, YLKI mengusulkan agar pemerintah menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen.(ris)

Artikel Yang Relevan

Iklan






Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut