Kabupaten Lombok Barat (Lobar) merupakan salah satu daerah favorit bagi pengembang dalam membangun perumahan. Lokasi yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan baik Provinsi NTB, Kota Mataram, Lobar dan juga instansi vertikal lebih memilih wilayah seperti Labuapi, Gunung Sari, Lingsar sebagai kompleks perumahan.
SEMAKIN banyaknya pembangunan perumahan menimbulkan kekhawatiran terkait keberadaan Pulau Lombok sebagai penyangga pangan nasional. Apalagi lokasi pembangunan perumahan ini adalah tanah kelas 1. Dalam arti, tanah yang subur dengan irigasi teknis yang mendapatkan pasokan air setiap tahun. Jika tidak ada upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah daerah, maka jangan harap sebutan daerah penghasil beras masih bisa dipertahankan.
Namun, tidak bisa dipungkiri, jika lahan -lahan yang masih ditanami padi di beberapa lokasi strategis, seperti di Kota Mataram dan juga Lobar dimiliki oleh pengembang. Sementara, petani yang menanam padi, jagung atau tanaman palawija lainnya adalah petani penyewa tahunan. Mereka akan berhenti menyewa di lahan tersebut jika pengembang sudah mendapatkan izin membangun kompleks perumahan dari pemerintah kabupaten/kota.
Hj. Mariah, salah seorang penyewa tanah tahunan di Desa Telagawaru, Kecamatan Labuapi, menuturkan, jika sewa tahunan tanah di sekitar kawasan Labuapi cukup mahal. Untuk setengah hektar, mereka harus menyiapkan dana di atas kisaran Rp 150 juta. Uang sewa ini nanti diserahkan pada perantara dan nanti sang perantara yang berkomunikasi dengan pemilik lahan.
Diakuinya, tanah-tanah kosong atau yang sekarang sedang ditanami padi sebagian besar dimiliki oleh orang luar. Dalam arti, petani yang menggarap lahan persawahan itu hanya menyewa.
“Kita ada memiliki lahan, tapi hanya 2 sampai 5 are. Namun, sebagian besar lahan itu berada di sekeliling lahan milik orang lain. Nanti ketika tanah orang lain itu dijual pada pihak pengembang, mau tidak mau, kita harus menjual tanah itu. Soalnya, kalau tidak dijual, kita tidak bisa masuk lahan kita, karena ditutup oleh pengembang,” tuturnya belum lama ini.
Selain itu, jika tidak mau menjual lahannya dan memiliki modal, maka pemilik lahan harus mengambil rumah di dekat lahan yang dimiliki. Jika ini tidak dilakukan, maka lahannya tidak ada yang mau membeli, kecuali warga di kompleks perumahan yang berbatasan langsung dengan sawah masyarakat.
Berani Membangun Karena Kantongi Izin
Meski demikian, harus diakui pembangunan kawasan perumahan tidak bisa dilakukan begitu saja, kecuali, setelah pengembang mendapatkan izin dari pemerintah daerah.
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Provinsi NTB, H. Heri Susanto mengatakan, wilayah seperti Labuapi, Kediri, Gunungsari, Gerung masuk dalam wilayah penyangga Kota Mataram.
Kawasan-kawasan penyangga ini menurutnya sangat menarik dijadikan kawasan investasi properti. Alasannya, karena tingginya permintaan (demand) terutama di daerah-daerah sekitar jalan bypass. “Banyak pengembang yang menanam investasinya di kawasan-kawasan penyangga ini,” ujarnya.
Menurutnya, pembangunan tidak begitu saja bisa dilakukan. Apalagi jika kawasan tersebut adalah kawasan pertanian. Heri Susanto meyakini, para pengembang tersebut sudah mendapatkan izin, sehingga berani memulai pembangunan perumahannya.
“Nggak mungkin pengembang bangun di pinggir jalan sebesar itu, dilihat oleh semua orang, bahkan dilihat APH (Aparat Penegak Hukum) sekalipun. Kalau bangun tanpa izin, sudah pasti ditutup. Saya yakin pengembang sudah punya izin,” katanya.
Soal apakah lahan tersebut yang digunakan merupakan lahan pertanian, menurut Heri Susanto, itulah pentingnya diperjelas perencanaannya.
“Bagaimana kita mau berbicara kalau sudah perencanaannya seperti itu. Ketika pemerintah sudah merencanakan, ada bypass, ada daerah penyangga. Berarti lahan itu memang diperuntukkan untuk itu,” ujarnya.
Ia menambahkan, maraknya pembangunan perumahan saat ini izin-izinnya diurus cukup Panjang. Tidak ada izin-izin yang keluar saat pembangunan mulai dilakukan. Menurut Heri Susanto, pengembang tidak bisa berspekulasi begitu saja. “Kan sudah ada ketentuannya membangun. Pengembang sudah pasti mengikuti dan melaksanakan ketentuan tersebut,” imbuhnya.
Pengembang yang membangun kawasan perumahan tanpa mengantongi izin-izin dianggap sebagai tindakan bunuh diri. Ada beberapa hal yang menjadi dasar pengembang membangun kawasan perumahan.
Pertama. Pemda setempat tidak mungkin membiarkan pengembang membangun, sebelum izin-izinnya selesai. Kedua, jika memungkinkan ada pengembang yang berani membangun tanpa terlebih dahulu mengantongi izin-izin, pengembang akan kesulitan saat penjualan unit KPR.
“Kan setelah selesai (perumahan) dibangun, harus dijual, bank yang menalangi, nanti konsumen yang nyicil di bank. Nah, persyaratan untuk bank mengeluarkan kredit ini sangat rigit. Harus lengkap seluruh izin-izin pengembang dan kawasan perumahan yang akan dijual,” ujarnya.
Sehingga ketika ada pengembang yang berani membangun tanpa izin, pada saat penjualan unit akan terbentur dengan regulasi dari perbankan.
“Kalau ada yang berani membangun tanpa izin, berarti itu namanya bunuh diri, katakan misalnya Pemda tidak melakukan pengawasan sampai kompleks perumahan dibangun 100 persen dan tinggal jual, bank tidak akan berani membiayai,” jelasnya. (bul/ham)