Lombok (ekbisntb.com) – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB mencatat adanya peningkatan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di wilayah Nusa Tenggara Barat per Maret 2025. Berdasarkan pengukuran Gini Ratio, ketimpangan naik menjadi 0,369, meningkat dibandingkan September 2024 (0,364) dan Maret 2024 (0,361).
Kepala BPS Provinsi NTB, Dr. Drs. Wahyudin, M.M, menjelaskan bahwa meskipun secara nasional angka ini masih tergolong rendah, peningkatan secara berturut-turut dalam dua periode terakhir tetap menjadi indikator penting yang harus diwaspadai. Terutama karena ketimpangan di wilayah perkotaan menunjukkan tren yang memburuk.

“Gini ratio naik berarti distribusi pengeluaran makin timpang. Ini bisa berarti kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar, khususnya di daerah perkotaan,” kata Wahyudin saat rilis resmi data ketimpangan, Jumat, 25 Juli 2025.
Gini Ratio di wilayah perkotaan NTB pada Maret 2025 tercatat 0,397, meningkat dibandingkan 0,388 pada September 2024 dan 0,383 pada Maret 2024. Kenaikan sebesar 0,009 poin tersebut menandakan bahwa ketimpangan pengeluaran di kota makin tajam, sejalan dengan peningkatan angka kemiskinan di kawasan urban.
Sebaliknya, di wilayah perdesaan, Gini Ratio tercatat 0,323. Angka ini naik tipis dari September 2024 yang sebesar 0,320, namun masih lebih rendah dibandingkan Maret 2024 sebesar 0,326. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan di perdesaan lebih terkendali, bahkan cenderung menurun secara tahunan.
“Peningkatan di kota ini perlu menjadi perhatian serius karena bisa berdampak pada stabilitas sosial dan ketahanan ekonomi masyarakat miskin perkotaan,” imbuh Wahyudin.
Dari ukuran ketimpangan berdasarkan metode Bank Dunia, distribusi pengeluaran 40 persen kelompok terbawah di NTB adalah sebesar 18,88 persen, yang masih masuk dalam kategori ketimpangan rendah.Jika dirinci. Perkotaan: 17,55 persen. Perdesaan: 20,86 persen.
“Ini berarti bahwa meskipun Gini Ratio naik, secara umum distribusi pengeluaran di NTB masih tergolong adil, terutama di perdesaan. Tapi tentu perlu upaya untuk menahan laju ketimpangan, utamanya di kota,” jelasnya.
BPS mendorong pemerintah daerah untuk mengantisipasi dampak sosial dari meningkatnya ketimpangan, terutama di perkotaan. Wahyudin menekankan pentingnya mendorong pemerataan akses ekonomi, seperti pembukaan lapangan kerja di sektor informal dan UMKM.
Optimalisasi program bantuan sosial yang menyasar warga berpendapatan rendah. Pengendalian harga kebutuhan pokok agar pengeluaran masyarakat miskin tidak terlalu tergerus.
“Kita ingin memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi bisa dinikmati secara merata, bukan hanya oleh kalangan tertentu,” ujarnya.(bul)