Lombok (ekbisntb.com) – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Pengendalian Inflasi Daerah penghujung tahun 2024 yang digelar secara hibrid pada Senin (30/12). Dalam Rakor tersebut, Pj Gubernur NTB Hassanudin diwakili oleh Kepala Biro Perekonomian Setda Provinsi NTB, H. Wirajaya Kusuma, MH.
Rakor dipimpin langsung oleh Plt. Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir yang didampingi oleh narasumber dari Kementerian/Lembaga terkait dan dihadiri oleh kepala daerah se-Indonesia secara virtual melalui zoom meeting.
Plt Sekjen Kemendagri membuka rapat dengan pemaparan mengenai realisasi Pendapatan dan Belanja APBD tahun anggaran 2024 seluruh daerah di Indonesia sebagai modal pelaksanaan di tahun depan. Pada tingkat provinsi, realisasi pendapatan APBD NTB tahun anggaran 2024 mencapai 93,35 persen, masih termasuk kategori merah atau belum mencapai target realisasi.
Sebanyak 18 provinsi di Indonesia diberi warna hijau dengan memiliki arti realisasi pendapatan sudah bagus, dimana provinsi dengan realisasi tertinggi yaitu Bali sebesar 109,57 persen. Sementara NTB berada di urutan ke 19 dan berwarna merah bersama dengan 19 provinsi lainnya di Indonesia karena target pendapatan dinilai belum memenuhi target.
“Realisasi pendapatan tertinggi yaitu Bali 109,57 persen, Jawa Timur 108,90 persen, Provinsi DIY 101,07 persen, Kalimantan Barat 99,82 persen, Jawa Barat 99,73 persen dan seterusnya,” kata Tomsi Tohir dalam Rakor tersebut.
Terhadap Pemda yang memiliki realisasi rendah, Tomsi meminta agar dilakukan konsolidasi kembali dimana letak persoalannya, sehingga realisaisnya belum memenuhi target.
Sedangkan pada tingkat Kabupaten/Kota, realisasi pendapatan di Kabupaten Lombok Barat menempati peringkat ke delapan tertinggi nasional dengan persentase sebesar 102,53 persen, disusul oleh Kabuapten Lombok Utara pada peringkat ke-11 dengan persentase sebesar 101,04 persen.
Sedangkan Kabupaten/Kota yang masuk realisasi pendapatan yang masih rendah terlihat Kabupaten Bima dengan angka 69,28 persen, dan Kota Mataram termasuk dalam jajaran kota terendah nasional dengan persentase realisasi pendapatan sebesar 78,99 persen.
“Maka bagi kabupaten/kota dengan realisasi pendapatan yang rendah, segeralah membuat evaluasi dimana letak kesulitan dan persoalannya,” pesannya.
Tomsi mengatakan, ada tren yang berkembang saat ini yaitu Pemda yang sengaja mencantumkan target pendapatan yang tinggi dengan tujuan target belanja juga tinggi. Namun demikian di akhir tahun anggaran cenderung akan minus, sehingga ia mewanti-wanti agar hal tersebut tidak dilakukan lagi.
Kemendagri juga memiliki data terkait realisasi belanja seluruh Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia. Namun karena belanja daerah masih berjalan hingga hari ini, maka angka-angka tersebut berpotensi berubah. Ia pun mendorong agar pemda melakukan realisasi belanja sebelum tahun anggaran berakhir.
Berdasarkan data realisasi belanja, Provinsi NTB masuk dalam kategori tinggi dengan angka 90,97 persen. Bahkan NTB masuk di urutan ke lima setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Barat dan Banten dengan realisasi belanja tertinggi. Sehingga NTB masuk di warna hijau dengan persentase yang tinggi.
Selain mengenai pendapatan dan belanja daerah, dalam rapat tersebut juga dipaparkan terkait dengan inflasi. Dimana, komponen volatile food, secara umum sepanjang tahun 2024 hingga November mengalami deflasi sebesar 1,89 persen secara year to date.
Secara historis sejak 2020-2023 pada bulan Desember, komponen volatile food selalu mengalami inflasi baik secara year to date maupun year-on-year. Volatile food sendiri adalah inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
“Sepanjang tahun 2020-2024 komponen volatile food selalu menunjukkan tren deflasi pada semester ke-2, namun pada tahun 2024 sejak April-Oktober, komponen volatile food selalu mengalami deflasi sebanyak tujuh kali berturut-turut,” ujarnya.(ris)