KEBUTUHAN mendesak. Meminjam uang pada lembaga resmi butuh waktu lama. Hal ini menyebabkan banyak orang mengambil jalan pintas. Pinjam pada rentenir atau meminjam pada lembaga tertentu melalui pinjaman online (pinjol). Akibatnya, masyarakat yang awam terkait literasi keuangan harus terjebak pada pinjaman yang memberatkan.
Hadi, salah satu korban pinjol. Ia tinggal di Kota Mararam. Menurutnya, karena ketidaktahuan tentang pinjol membuatnya terjerembab. Ditemui di Mataram, Minggu, 27 Oktober 2024, Hadi mengakui, sudah sebulan ini merasa lega. Terbebas dari teror pinjaman online.
Teror dengan kata-kata kasar dan tidak manusiawi tidak saja masuk ke nomor teleponnya. Namun teror tersebut juga masuk ke nomor teman, kolega, keluarga, dan seluruhnya yang terdapat pada kontak teleponnya.
Sebab, syarat ia mendapatkan pinjaman online hanya mengirim foto, foto KTP, dan seluruh nomor kontak dihapenya otomatis dikuasai operator pinjaman online.
Awalnya, ia coba – coba karena tergiur tawaran mudahnya mendapatkan pinjaman. Ia kemudian mengklik salah satu tawaran pinjaman online yang masuk ke teleponnya. Sontak saja, ketika ia mendapatkan pinjol di salah satu aplikasi sebesar Rp1,8 juta, masuk ke rekeningnya Rp1,1 juta. Tapi harus dibayar pokok dan bunganya menjadi Rp2.250.000.
Belum beberapa hari, tagihan pembayaran harus dilunasi. Pokok dan bunganya. Anehnya, untuk pelunasan ini, harus dibayar melalui aplikasi pinjol lainnya.
“Saya menerima hampir 20 aplikasi pinjol otomatis masuk untuk melunasi utang sebelumnya. Saya klik 7 aplikasi. Dari 7 aplikasi ini, hitungannya satu aplikasi piinjamannya sama Rp1,8 juta, yang masuk Rp1,1 juta. Dan dibayar Rp2,250 juta. Uangnya ada masuk ke rekening sebesar Rp1,1 juta, tapi harus melunasi yang lain sebesar Rp2,250 juta. Bukannya dapat untung, malah pecok (rugi),” keluhnya.
Untung saja katanya ia berinisiatif mematikan telepon, untuk menyetop paksaan pinjaman dari aplikasi yang lain. “Kalau tidak saya mematikan hape, mungkin 20 aplikasi yang disarankan akan memasukkan dana ke rekening saya dan harus dibalikin lagi dalam waktu tak lama, dengan bunga yang sangat besar,” katanya.
Hadi menjelaskan, total 7 aplikasi yang sudah dipencetnya untuk gali lubang tutup lubang pinjaman awal. Jika dihitung, uang yang masuk ke rekeningnya, sebesar Rp1,1 juta (dari seharusnya Rp1,8 juta) dikalikan 7 menjadi Rp7,7 juta. Namun ia harus membayar Rp2,250 juta dikalikan 7 = Rp15,750 juta. Dengan masa pembayaran tak sampai 1 minggu setelah pencairan.
“Saya diteror terus dengan kata – kata kasar, dan semua yang ada di nomor kontak telepon saya dikasih tahu ada utang saya. Dan kasar penyampaiannya. Makanya saya langsung ganti hape,” katanya.
Ia juga melaporkan hal yang dialaminya ini ke OJK NTB di Malomba. Dengan harapan ada soluasi. Namun jawaban yang diterima dari OJK NTB hanya diminta tidak melayani teror tersebut (tanpa solusi).
“Ini pelajaran, pinjol membuat psikologis kita terganggu, kita dipermalukan ke semua orang,” demikian Hadi.
Hal senada dialami Bayu, warga salah satu kompleks perumahan di Mataram. Dirinya pernah mengalami teror lewat telepon genggamnya, karena belum melunasi utang di salah satu lembaga peminjam keuangan. Padahal, dirinya tidak pernah mengajukan pinjaman utang lewat lembaga peminjam keuangan tersebut.
Meski demikian, ungkapnya, dirinya justru melakukan teror balik pada penelepon tersebut, yang seorang perempuan. Sebagai warga yang berlokasi dekat pusat perbelanjaan di wilayah Cakranegara, Bayu mengaku, dirinya mengancam balik pada pihak yang melakukan teror tersebut dengan akan mendatangi kantornya dan menggerebeknya bersama warga, jika masih terus melakukan ancaman.
‘’Saya bilang ke yang menelepon saya, jika saya tahu tempat kerjanya. Termasuk tempat kosnya. Ada di wilayah di Cakranegara di sana banyak anak cewek yang kos. Rata-rata mereka kerja di lembaga pemberi pinjaman,’’ ungkapnya.
Setelah melakukan ancaman balik, Bayu mengaku, hingga kini belum pernah ditelepon balik sama yang melakukan ancaman penyebaran data pribadi ke nomor telepon yang lain.
Begitu juga yang dialami Sakmah, salah satu pedagang di Pasar ACC Ampenan. Dirinya pernah didatangi 2 pria menggunakan motor ke rumahnya untuk melakukan penagihan pada utang yang tidak pernah dilakukannya. Namun, setelah diberikan penjelasan oleh tetangganya, 2 pria yang mengaku sebagai tukang tagih tersebut langsung pergi.
Dirinya khawatir, ada modus di balik orang-orang tertentu melakukan tindakan kriminal. Sementara saat bersamaan, pemilik rumah sedang tidak ada di rumah.
Tangani Pinjol dan Judol
Sementara Pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Wilayah NTB mendatangi Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi NTB di Malomba, Mataram, Senin, 21 Oktober 2024 lalu.
Kedatangan KAMMI NTB ini untuk berkoordinasi dan membahas berbagai persoalan yang tengah melanda NTB, terutama terkait maraknya kasus pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol).
Menurut data OJK, per Juli 2024, total outstanding pinjaman online masyarakat NTB mencapai Rp634 miliar, dengan tingkat kredit macet (TWP90) mencapai 4,92 persen, yang merupakan angka tertinggi di Indonesia.
Kedatangan KAMMI ini ditemui Humas OJK, Muhammad Abdul Mannan. Dalam kesempatan ini, Wakil Ketua Umum KAMMI NTB, Khairul Muamalah, menekankan pentingnya peran OJK dalam mengatasi masalah ini.
“OJK sebagai lembaga yang otoritatif harus lebih intensif dalam pencegahan dan penanganan, melalui terobosan-terobosan baru,” ujarnya.
Khairul juga mengingatkan tentang potensi risiko yang ditimbulkan jika kasus pinjol tidak terkontrol, seperti meningkatnya angka kriminalitas, bunuh diri, dan pencurian data pribadi.
“Kami berharap OJK dapat memperluas jangkauan mitra kerja sama untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, dengan tetap memperhatikan regulasi dan syarat yang memungkinkan masyarakat memilih pinjol legal,” pungkasnya.
Sementara itu, OJK akan terus bersinergi dengan stakeholder, salah satunya KAMMI untuk menangani persoalan-peroslan terkait keuangan di NTB. (bul/ham)