spot_img
26.5 C
Mataram
BerandaNTBMerawat Wastra Tenun NTB dari Gempuran Zaman

Merawat Wastra Tenun NTB dari Gempuran Zaman

Lombok (ekbisntb.com) – Nita Setiawati mendongak saat seorang pengunjung bertanya tentang wastra tenun bermotif bengkuang yang sedang ia buat menggunakan gedogan tradisional.

Tepat di belakang punggungnya berjajar enam lembar kain tenun beragam warna yang menggantung pada hanger kayu dan sesekali berayun mengikuti arahan kibasan angin.

- Iklan -

“Tenun Bima masih menggunakan cara gedogan seperti ini, sedangkan tenun lain sudah pakai mesin,” kata perempuan berusia 32 tahun itu.

Bagi penduduk Bima, menenun adalah keterampilan yang wajib dimiliki tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Nita telah menenun sejak duduk di bangku kelas lima sekolah dasar hingga usianya kini menginjak kepala tiga dan dikaruniai dua anak.

Ia menunjukkan ketrampilannya menenun secara langsung dalam gelaran Karya Kreatif NTB yang disandingkan dengan Lombok Sumbawa Tenun Festival di Epicentrum Lombok Mall, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Pagelaran itu diinisiasi jajaran Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada 24 sampai 25 Agustus 2024. Kegiatan ini menjadi perayaan yang memperkuat eksistensi tenun dan perajin di tengah gempuran produk mode cepat atau fast fashion yang diproduksi secara massal dengan biaya rendah.

Aktivitas menenun menggunakan gedogan tradisional adalah upaya merawat tradisi. Suara hentakan belida kayu bak irama alat musik mengalun ke berbagai penjuru memadatkan sulaman benang.

Gerakan tangan yang piawai menggunakan suri menjadi penanda ketekunan yang ditempa oleh waktu dan kesabaran.

Bagi masyarakat Bima yang mendiami wilayah timur Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, aktivitas menenun bukan sekadar untuk memenuhi perlengkapan sandang melainkan juga terselip tiga kekuatan utama jiwa manusia berupa cipta, rasa, dan karsa.

Setiap lembar kain tenun menampilkan cerminan jiwa perajin dan kondisi lingkungan. Itulah mengapa motif tenun cenderung lebih banyak menggambarkan tentang bunga, tumbuhan-tumbuhan, dan rumah adat.

Sebuah jurnal tentang perkembangan motif kain tenun Bima dari Jurusan Teknologi Industri Universitas Pendidikan Ganesha mengungkapkan kain tenun yang dibuat oleh para perajin tidak hanya untuk tujuan fungsional maupun aspek adat saja, namun kain tenun juga dibuat berdasarkan aspek sosial, estetika, maupun ekonomi.

Nita yang telah menenun selama dua dekade bercerita bahwa proses pengerjaan selembar kain tenun Bima berukuran lebar 60 sentimeter dan panjang 4 meter membutuhkan waktu 4 sampai 5 hari.

Harga jual selembar kain tenun dibanderol Rp800 ribu. Bila motif cenderung rumit dan memakai pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan, maka harga selembar kain tenun tersebut bisa menembus angka jutaan rupiah.

Kain tenun adalah perwujudan karya seni berbalut unsur budaya yang mengakar kuat. Setiap lembaran kain tenun menceritakan beragam kisah peradaban dan penghidupan.

Dari kapas hingga kain

Menurut Statistik Perkebunan Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian, dari tahun 2018 sampai 2020, data perkebunan dan produksi kapas di Nusa Tenggara Barat mengalami fluktuasi.

Pada tahun 2018, luas tanam perkebunan kapas di Nusa Tenggara Barat tercatat mencapai 945 hektare dengan luas panen 258 hektare yang hanya mampu menghasilkan kapas sebanyak 46 ton.

Setahun kemudian luas tanaman kapas menyusut drastis menjadi 200 hektare dengan luas panen sebanyak 395 hektare. Jumlah produksi kapas saat itu tercatat sebanyak 70 ton.

Pada tahun 2020, angka produksi kapas di Nusa Tenggara Barat turun menjadi 68 ton dari luas areal tanam dan areal panen sebanyak 150 hektare.

Penyempitan lahan pertanian akibat ekspansi pembangunan pemukiman dan berbagai sarana publik maupun perkantoran, serta kalah pamor dengan tanaman pangan membuat budidaya kapas terlihat kurang menjanjikan di mata para petani.

Kapas adalah komponen penting dalam industrialisasi tenun. Pada tahun 2019, kapas-kapas yang diproduksi dari tanah Nusa Tenggara Barat terutama Lombok dijual ke Bali dengan harga murah.

Di Bali, kapas itu dibentuk menjadi benang lalu dibeli dengan harga mahal oleh para perajin tenun di Lombok dan Sumbawa.

Keberadaan rumah kedaulatan sandang di Desa Giri Tembesi yang dikenal sebagai kampung kapas di Kabupaten Lombok Barat berupaya menciptakan kemajuan perkebunan kapas menjadi skala industri bagi Nusa Tenggara Barat.

Kini mulai dari kapas, lalu dipintal menjadi benang, dan dibentuk menjadi tenun sudah bisa di lakukan secara mandiri oleh penduduk lokal setempat.

Bahan baku yang diambil langsung dari petani tentu lebih murah dari segi harga dan lebih rendah jejak karbon ketimbang memakai bahan baku yang didatangkan dari luar daerah, apalagi luar negeri.

Bila industrialisasi tenun terus digaungkan dan diperbesar, namun tidak diimbangi dengan perbaikan sektor hulu—kapas dan benang—berpotensi mengancam misi yang dijalankan akibat produksi bahan baku tidak mencukupi permintaan industri sehingga bahan baku impor perlu didatangkan dari luar.

Langkah kongkret yang kini harus dilakukan adalah memperluas areal tanam dan meningkatkan angka produksi kapas untuk mendukung industrialisasi tenun yang kini sedang berkembang di Nusa Tenggara Barat.

Optimalisasi produk turunan

Ekonom Universitas Mataram Muhammad Firmansyah mengatakan tenun adalah kerajinan turun-temurun warisan para leluhur dan kini publik menganggap tenun sebagai peluang bisnis karena keunikan produk tersebut.

Dari segi keunggulan komparatif, tenun sudah punya keunggulan karena sifatnya yang khusus. Namun, keunggulan kompetitif belum dimiliki oleh tenun lantaran harga yang terbilang mahal.

Agar tenun menjadi produk yang kompetitif, maka biaya produksi berupa tenaga kerja, waktu pengerjaan, dan harga bahan baku harus bisa ditekan seminimal mungkin.

Konten lokal tenun hanya ada pada proses pembuatan, sedangkan bahan baku berupa benang sebagian besar masih didatangkan dari luar negeri seperti China dan India. Fakta itulah yang menyebabkan harga kain tenun per lembar tidak ada yang murah dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan kelas menengah ke atas.

Dalam pohon bisnis, pembagian segmentasi pasar sangat penting agar produk wastra bisa menjangkau semua lapisan konsumen.

Bahkan sebuah merek fesyen terkenal yang menjual jas jutaan rupiah juga memproduksi sapu tangan yang hanya dijual puluhan ribu rupiah. Industri tenun harus belajar bagaimana menciptakan pasar yang luas dengan harga terjangkau oleh semua kalangan.

Keistimewaan nilai budaya yang dimiliki kain tenun tentu tidak cukup sebagai modal untuk bertahan di tengah persaingan industri fesyen yang bervariasi dan dinamis.

Melalui ruang-ruang kreatif para desainer, kain tenun perlahan mulai merambat masuk ke berbagai produk turunan seperti baju, celana, tas, maupun barang suvenir.

Olah bentuk tenun tidak lagi hanya sebatas lembaran kain atau sarung. Tenun bertransformasi ke mode yang lebih sederhana.

Slogan Bangga Buatan Indonesia turut memperkuat aksen para desainer dan penenun dalam menciptakan berbagai mode kreatif yang sarat nilai budaya, namun juga kompetitif dari segi harga.

Kain tenun harus dapat mengambil peluang dalam industri fesyen global. Tren berbusana yang memanfaatkan tenun menjadi magnet tersendiri bagi generasi tua maupun generasi muda.

Selembar kain tenun utuh yang semula dijual jutaan rupiah dan hanya mampu dibeli kalangan tertentu harus bisa juga dinikmati kalangan bawah melalui produk-produk turun yang beragam. Pasar tenun harus diperluas menjadi lebih inklusif seiring dengan perkembangan masif industri mode saat ini. (ant)

Artikel Yang Relevan

Iklan








Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut