Lombok (ekbisntb.com) – Pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) Provinsi NTB merespon pernyataan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP), Fahri Hamzah yang mengancam akan melaporkan pengembang ke polisi jika tetap membangun perumahan di atas lahan sawah produktif.
Ketua REI NTB, H. Heri Susanto menegaskan, ancaman seperti itu mestinya tidak diungkapkan oleh pemerintah, apalagi terhadap pengembang perumahan yang selama ini banyak membantu pemerintah membangun kawasan baru, dan menghidupkan rantai ekonomi.

“Pak Wamen PKP tidak usah ancam-ancamlah. Kalau pengembang selama ini salah karena membangun di satu kawasan, sudah pasti diproses sama APH (Aparat Penegak Hukum),” katanya di Mataram, Sabtu, 18 Januari 2025.
Pun terhadap larangan membangun rumah di atas lahan sawah yang kerap kali disampaikan Fahri Hamzah. Menurutnya, pengembang selalu mendukung dan mematuhi aturan pemerintah, membangun diatas lahan yang sudah diizinkan oleh pemerintah.
Selama ini, menurutnya izin-izin pembangunan juga diberikan pemerintah pusat yaitu izin PBG (Peresetujuan Bangunan Gedung atau yang sebelumnya adalah Izin Mendirikan Bangunan atau IMB).
Heri Susanto menyoroti bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ada masih memungkinkan lahan sawah masuk dalam peta yang bisa dialihkan. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya perbaikan tata ruang dan pengaturan yang lebih jelas untuk menghindari konflik kebijakan.
“Tugas pemerintah itu adalah membuat dan memperjelas aturan tata ruang dalam waktu yang tidak lama, jadi bukan hanya sekedar melempar isu tanpa solusi. Pertanyaannya sekarag, sanggup nggak Wamen atau Kementerian ini membuat aturan yg jelas dan cepat, mana lahan yang boleh dan mana lahan yang tidak, karena sudah puluhan tahun ke abu-abuan tata ruang ini gak kunjung selesai,” jelasnya.
Menurut Heri, pernyataan yang terkesan mengancam pengembang hanya akan memperburuk keadaan. Saat ini, banyak pengembang khawatir membangun perumahan karena takut disalahkan atau diperkarakan secara hukum, meskipun mereka sudah mengikuti proses perizinan yang diatur pemerintah.
“Kalau pengembang resah, dampaknya akan terasa di banyak sektor. Kredit perbankan bisa mandek, penyuplai material terhenti, dan roda ekonomi yang terkait pembangunan perumahan ikut terganggu,” katanya.
Heri menyarankan sebaiknya Wamen atau Kementerian Perumahan menguatkan koordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) untuk menyelaraskan kebijakan terkait tata ruang. Ia juga meminta agar kementerian lebih fokus pada target pembangunan tiga juta rumah.
“Kalau ada lahan pertanian yang diajukan untuk pembangunan, cukup koordinasikan dengan Kementerian ATR/BPN. Jangan beri izin pengembang. Clear masalah. Buat aturan yang jelas, lalu disiplinkan dengan satgas pengendalian. Sesederhana itu,” tambahnya.
Atau jika pemerintah ingin mewujudkan pembangunan 3 juta rumah pada lahan-lahan yang notabenenya bukan lahan pertanian, seharunya pemerintah juga memperioritaskan untuk membangun infrastruktur sebagai stimulus.
Misalnya, membangun jalan by pass yang melintasi lahan-lahan yang dianggap marjinal. Memenuhi fasilitas kelistrikan, air bersih. Dengan demikian, otomatis lahan tersebut akan menarik bagi konsumen, begitu juga investor. Dengan demikian, lahan pertanian produktif tidak akan berganti menjadi lahan beton.
“Kalau hanya sekedar mengancam, kemudian melarang membangun, tanpa ada solusi yang jelas, ndak solutif juga. Target 3 juta rumah ini program luar biasa Prabowo Gibran, jangan sampai di salah terjemahkan sama Wamen Pera Fahri Hamzah,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan, kebutuhan rumah (backlog) khususnya di NTB masih sangat tinggi, ratusan ribu. Belum lagi rumah tidak layak huni yang jumlahnya juga ratusan ribu. Kebutuhan ini harus dijawab pemerintah dengan menyediakan solusi yang tepat.
“Kalau modelnya seperti ini menakut-nakuti pengusaha, siapa yang mau membangun perumahan. Dampaknya kasian masyarakat yang notabenenya konsumen juga. Teman teman pengembang sudah khawatir lho, mau membangun tapi akan dihadapkan pada persoalan hukum. Terus kapan mau mewujudkan 3 juta rumah,” jelas Heri Susanto.
Terakhir, Heri Susanto juga mengingatkan, 3 juta rumah itu setara dengan 30 ribu hektar. Jika 3 juta rumah dikerjakan 5 tahun, maka pertahun membutuhkan lahan hanya 6.000 hektar saja. Bandingkan dengan total alih fungsi lahan nasional yang mencapai 600.000 hektar, hanya 1% saja.
Pun halnya di NTB, setiap tahun pembangunan berkisar 5.000 unit atau setara dengan 50 – 75 hektar saja. Sementara alih fungsi lahan sudah mencapai 10 ribu hektar.(bul)