Lombok (ekbisntb.com) – Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) NTB, H. Edy Sopyan, menyatakan dukungannya terhadap rencana pemerintah untuk mencabut moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi.
Untuk diketahui, Presiden Prabowo Subianto menyetujui dicabutnya moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi. Setelah diberlakukan moratorium sejak tahun 2015.

Menurut H. Edy, keputusan ini sangat dinantikan oleh masyarakat, terutama masyarakat NTB yang selama ini banyak memilih bekerja ke Arab Saudi.
“Kami dari APJATI NTB sangat merespons positif dan menunggu pembukaan moratorium ini, karena khususnya bagi masyarakat NTB, minat untuk bekerja di Arab Saudi sangat tinggi, bahkan bisa dibilang lebih dari 50 persen jika dibandingkan dengan negara tujuan lain, termasuk Malaysia,” ujar H. Edy di Mataram, Senin, 17 Maret 2025.
H. Edy juga menjelaskan bahwa banyak warga NTB yang tertarik untuk bekerja di Arab Saudi bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga untuk tujuan beribadah (berhaji), mengingat mayoritas penduduk NTB adalah Muslim.
Apalagi keinginan untuk berhaji seringkali terkendala oleh antrean panjang, yang bisa mencapai lebih dari 30 tahun. Oleh karena itu, bekerja di Arab Saudi sebagai PMI dianggap sebagai peluang untuk bisa berhaji lebih cepat, karena dalam kontrak kerja terdapat kewajiban bagi majikan untuk memfasilitasi PMI untuk berhaji di tahun kedua.
Sebagai mantan PMI yang pernah bekerja di Arab Saudi, H. Edy mengungkapkan bahwa pengalaman tersebut memberikan wawasan mendalam mengenai tantangan dan dinamika yang terjadi di negara penempatan, khususnya terkait masalah tata kelola P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia).
“Saya merasakan bagaimana rasanya menjadi PMI di Saudi Arabia. Memang masih banyak yang perlu dibenahi oleh pemerintah kita, terutama dalam hal pengawasan dan perlindungan terhadap PMI,” tambahnya.
H. Edy menegaskan, meskipun moratorium diberlakukan, keinginan untuk bekerja di Arab Saudi tidak bisa dihalangi, bahkan banyak yang memilih jalur ilegal untuk bisa berangkat ke sana. Hal ini menunjukkan betapa besar kebutuhan masyarakat akan kesempatan bekerja di Arab Saudi.
Selain itu, H. Edy juga menyampaikan keprihatinannya terhadap banyaknya P3MI yang tidak bisa beroperasi akibat moratorium tersebut. Banyak P3MI yang sebelumnya mengirimkan pekerja ke Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, beralih ke negara lain seperti Malaysia, Singapura, atau Hong Kong untuk mencari pasar baru setelah moratorium diberlakukan.
“Kita sangat berharap agar moratorium ini segera dicabut, karena teman-teman P3MI di NTB, yang hampir 50 hingga 60 persen aktif mengirimkan pekerja ke Timur Tengah, merasa sangat terdampak. Banyak yang terpaksa mengalihkan bisnis mereka ke negara lain, karena mereka sudah investasi kantor dan karyawan yang harus tetap bekerja,” jelasnya.
Pada bagian lain, H. Edy juga menyoroti bahwa salah satu masalah besar dalam pengiriman PMI ke Arab Saudi adalah kurangnya keterampilan PMI yang dikirim. Banyak PMI yang tidak dilatih dengan baik sebelum diberangkatkan, yang berujung pada kasus-kasus yang merugikan PMI itu sendiri.
“Majikan di Saudi Arabia mengeluarkan biaya yang sangat tinggi Rp100 juta untuk mendapatkan pekerja. Wajar jika mereka berharap pekerja yang diterima memiliki keterampilan yang memadai. Kalau majikan menerima pekerja tidak punya skill, akhirnya menjadi masalah. Pemerintah harus tegas dalam memastikan bahwa PMI yang dikirim adalah mereka yang sudah memiliki keterampilan sesuai standar, agar kasus-kasus yang merugikan PMI bisa diminimalisir,” tutupnya.
H. Edy menekankan perlunya lembaga pelatihan kerja yang independen dan diawasi oleh pemerintah untuk memastikan kualitas PMI yang diberangkatkan, sehingga mereka dapat bekerja dengan baik dan tidak terjebak dalam masalah yang merugikan kedua belah pihak.
Untuk itulah, jangan diserahkan pelatihhan kepada lembaga -lmebaga pelatihan kerja yang milik P3MI. Itu sama artinya, pemain sekaligus menjadi wasit. Bagaimana kalau lembaga pelatihan melatih calon PMI hanya beberapa jam saja lalu menerbitkan sertifikat kompetensi sendiri kemudian diberangkatkan. Agar biaya kepada PMI dapat ditekan.
“Tau tau, yang diberangkatkan tidak memiliki skill. Bahkan sekedar mengoperasikan mesin cuci saja tidak bisa. Akibatnya terjadi kasus kepada PMI. Karena itu, lembaga pelatihan kerja luar negeri ini harus diserahkan kepada lembaga independent tersendiri. Dan diawasi oleh pemerintah. Supaya outputnya adalah pekerja-pekerja yang diberangkatkan adalah pekerja dengan skill atau keterampilan yang mempuni ke Timur Tengah. Ini untuk meminimalisir kasus-kasus PMI di timur Tengah. Ini yang pemerintah juga harus perhatikan,” tandasnya.(bul)