spot_img
26.5 C
Mataram
BerandaNTBBimaGaram Bima Butuh Solusi Nyata-Produksi Tertunda, Harga Terpuruk

Garam Bima Butuh Solusi Nyata-Produksi Tertunda, Harga Terpuruk

Panas terik memang menjadi teman setia para petani garam. Termasuk petani garam di Desa Talabiu, Desa Penapali, Kabupaten Bima.  Di tengah ladang garam yang luas, mereka terus bergelut demi mencari nafkah, meskipun hasil yang diterima tak sebanding dengan kerja keras yang dikeluarkan.

RENDAHNYA harga garam di tingkat petani menjadi masalah kronis yang tak kunjung terurai. Petani tak dapat menikmati pendapatan yang layak, padahal proses pembuatan garam membutuhkan kerja fisik yang berat, biaya yang tak murah, dan risiko cuaca yang sulit diprediksi.  Di tengah tantangan cuaca dan keterbatasan dukungan, para petani garam terpaksa menerima kenyataan bahwa hasil jerih payah mereka hanya dihargai murah.

- Iklan -

Seorang petani garam asal Desa Talabiu, Yusuf, mengakui, harga jual garam saat ini sangat rendah, hanya berkisar antara Rp18 ribu hingga Rp20 ribu per sak. “Ada yang Rp20 ribu per sak, ada juga yang Rp18 ribu per sak,”  tuturya kepada Ekbis NTB, Jumat, 13 Juni 2025.

Satu sak garam, menurutnya, memiliki berat sekitar 50 hingga 55 kilogram. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, selisih harga sangat mencolok. “(Tahun ini harga garam) murah. Tahun lalu malah sempat sampai Rp50.000 per sak,” sebutnya.

Yusuf mengelola lahan seluas lima petak berukuran 5×20 meter di Desa Penapali, Kabupaten Bima. Dari lahan itu, ia bisa menghasilkan sekitar 600 hingga 700 sak garam dalam satu musim. “Sekali panen kira-kira dapat 50 sak. Itu dalam rentang waktu satu minggu,” katanya.

Untuk satu musim produksi, Yusuf memperkirakan biaya yang dibutuhkan bisa mencapai sekitar Rp10 juta, meski menurutnya tidak terlalu besar. Pengeluaran sehari-hari seperti makan, bensin motor, serta perbaikan gudang atau baling-baling menjadi bagian dari biaya produksi.

Sementara itu, dalam hal distribusi, para petani biasa menjual hasil panen mereka kepada pengepul maupun pedagang yang langsung membawanya ke luar daerah. Namun, harga yang diterima tetap tak berubah. “Ada yang ke pengepul, ada juga ke pedagang yang langsung bawa ke luar daerah, seperti ke Banjarmasin dan Madura. Tapi harganya tetap sama, Rp20 ribu per sak,” tuturnya.

Menurut Yusuf, salah satu solusi jangka pendek untuk mengatasi anjloknya harga garam adalah penetapan harga minimal yang layak oleh pemerintah. “Menurut saya penetapan harga standar minimal itu perlu,” ujarnya.

Masalah harga ini muncul di tengah kondisi produksi yang masih belum bisa dimulai. Yusuf mengatakan, musim produksi tahun ini tertunda akibat cuaca yang tidak bersahabat, sering mendung dan turun hujan. “Kalau untuk tahun ini belum digarap. Yang petani jual sekarang adalah garam yang disimpan di gudang,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa dalam setahun, masa produksi garam hanya berlangsung sekitar lima hingga enam bulan, yakni saat musim kemarau. Idealnya, proses produksi seharusnya sudah dimulai sejak bulan Mei lalu. Namun cuaca yang belum stabil membuat para petani belum bisa menggarap lahan mereka. “Seharusnya Bulan Mei kemarin petani sudah mulai garap, tapi karena cuacanya sekarang masih sering mendung dan hujan, jadi petani belum bisa garap,” terangnya.

Cuaca, menurut Yusuf, menjadi tantangan utama dalam usaha produksi garam. “Iya, cuaca sangat berpengaruh terhadap kadar air,” tambahnya.

Selain faktor cuaca, para petani garam juga pernah menghadapi bencana alam seperti banjir, yang merusak tambak dan gudang penyimpanan. Kualitas air menjadi tidak layak untuk produksi, proses panen terganggu, dan garam hasil panen pun rusak total. Kerugian akibat banjir diperkirakan mencapai ribuan ton garam yang hilang tanpa sisa.

Dalam situasi sulit tersebut, Yusuf mengaku belum merasakan adanya bantuan konkret dari pemerintah. “Kalau yang sampai ke kita petani, setahu saya nggak ada. Nggak tahu kalau tempat lain,” ungkapnya.

Menanggapi rencana Gubernur NTB, Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal, yang ingin mendorong hilirisasi produk garam dengan mengolahnya menjadi produk spa dan bahan industri, Yusuf mengaku belum mendengarnya secara langsung. Namun ia menyambut positif gagasan tersebut. “Nggak tahu. Selama itu baik buat kami petani garam, menurut saya bagus,” katanya.

Pihaknya berharap agar pemerintah tidak hanya hadir saat terjadi aksi atau gejolak harga, tetapi benar-benar memberi perhatian yang konsisten kepada petani. Terutama soal distribusi bantuan alat produksi yang selama ini menurutnya belum merata. “Kalau pun ada bantuan dari pemerintah terkait alat produksi, tolong dikawal dengan baik biar bisa sampai dengan benar ke petani. Soalnya kejadian di sini itu ada yang dapat, ada yang nggak,” ungkapnya.

“Harapan saya sih ke depan harga garam bisa stabil. Dan tolong pemerintah lebih serius lagi memperhatikan kami petani garam. Jangan di saat ada demo terkait harga garam saja baru ada perhatian. Poinnya, kami sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah, baik itu dari daerah maupun dari provinsi,” tambahnya.

Pada bagian lain, petani garam di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) bersikap apatis terhadap kebijakan pemerintah. Selama ini, apapun kebijakan yang dihadirkan pemerintah dalam membantu petambak hasilnya stagnan. Pasalnya, yang diinginkan paling utama dari petambak adalah kesesuaian harga. Faktanya, harga garam ini lebih kerap menyedihkan dibandingkan menyenangkan petani garam.

Amaq Mustiadi, petani garam di Keruak mengakui banyak bantuan pemerintah. Utamanya berupa terpal. Akan tetapi, jawaban pasar atas hasil produksi tak berbanding lurus dengan harapan.

Sebaliknya, produksi garam dari terpal kurang begitu diminati oleh pasar lokal. Rasanya lebih pahit meski diakui lebih putih. Rasa masakan bumbu garam putih hasil terpal ini kurang enak.

Dalam proses produksi garam, masalah utama yang dihadapi petambak katanya adalah cuaca. Kondisi saat ini, terhitung hampir setahun produksi gagal panen terus. Hal itu dikarenakan hujan yang tak berhenti mengguyur.

Sementara, garam bisa produksi ketika cuaca panas. Cuaca mendung dan hujan tidak akan bisa menghasilkan garam. Bantuan pemerintah berupa atap terpal selama ini dinilai kurang begitu membantu. Terlihat, areal produksi garam di Pijot menyisakan puing-puing terpal penutup tambak.

Sementara itu, para penjual garam eceran di Pijot mengakui kondisi harga garam ini tidak terlalu menggembirakan. Hj. Parhiah salah satu pedagang eceran ini mengatakan pembeli lebih senang membeli produksi garam lokal. Yakni yang diproduksi tidak menggunakan terpal, tapi langsung dari tanah.

Produksi garam tradisional ini katanya jauh lebih mudah diterima pasar. Hanya saja memang warnanya relatif lebih hitam dibandingkan dengan garam yang diproduksi lewat membran terpal.

Diakuinya, garam lokal ini lebih kering dan mengkristal. Hal ini membuat garam lokal jauh lebih awet dibandigkan garam yang hanya mengandalkan warna putih, namun mudah sekali mencair.

Adapun harga saat ini dijual Rp 20 ribu ukuran 5 Kg atau Rp 4 ribu per Kg. Stok yang dijual saat ini merupakan hasil produksi tahun lalu. Terakhir diketahui petani garam   memproduksi garam pada bulan Agustus 2024 lalu. “Hingga saat ini belum ada yang produksi,” ujarnya.

Garam lokal dibeli Rp 150 ribu per karung yang ukurannya sekitar 50 Kg. Oleh pengecer ini kemudian dipecah dalam bentuk takaran karung kecil masing-masing 5 Kg. Mengingat lamanya garam tak produksi, diprediksi harga garam dalam waktu dekat ini akan merangkak naik.

Dituturkan, beberapa waktu lalu sempat harga garam ini meningkat cukup tajam. Satu karung ukuran 50 Kg itu dibeli Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Saat harga mahal tersebut, satu karung kecil ukuran 5 Kg itu dijual Rp 150-200 ribu.

Selama ini belum pernah terjadi lagi lonjakan harga tersebut. Namun, jika melihat kondisi cuaca yang terus menerus hujan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi lonjakan seperti beberapa tahun lalu. Gudang-gudang penyimpanan katanya sudah mulai kosong.

Pengecer ini pun khawatir ketersediaan makin terbatas. Hal ini memicu para pelaku usaha garam ini mendatangkan garam dari Madura dan Bima. Garam dari luar daerah itu katanya tidak selaris garam lokal. “Kalau garam lokal ini jauh lebih laris manis,” imbuhnya.

Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan nilai tambah para penjual garam yang notabenenya juga keluarga para petambak ini memproduksi sendiri garam halus. Semua jenis garam ini katanya bisa dibuat menjadi garam halus. Harga jualnya disebut lebih mahal dibandingkan garam kristal. (hir/rus)

Artikel Yang Relevan

Iklan





Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut