Lombok (ekbisntb.com) – Dalam upaya memperkuat ketahanan energi sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi, Pemerintah terus mengembangkan biofuel atau bahan bakar hijau. Bahkan, baru-baru ini, pemerintah berencana mewajibkan aturan baru terkait bahan bakar minyak (BBM).

Bensin akan dicampur dengan etanol sebanyak 10 persen (E10). Kebijakan ini dilakukan untuk mewujudkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM.

Salah satu inovasi terbaru yang dapat dikembangkan adalah bioethanol yang berasal dari tanaman sorgum. Riset terhadap sorgum sebagai bahan baku bioethanol telah digencarkan, salah satunya oleh Dosen Senior asal Unram, Prof. Ir. Suwardji dan Tri Rachmanto.
Sejak 2011 hingga 2024, Prof. Suwardji terus meneliti potensi sorgum sebagai bahan baku alternatif bioethanol berkerja sama dengan Balitbang Pertanian Jakarta, Batan, Dikti, Kementerian ESDM, hingga Pertamina.
“Ini yang saya tekuni terus menerus itu dari dulu 2011 itu orang tidak menengok ke sorgum. Nah, sekarang sudah meliriknya,” ujarnya, Senin (13/10/2025).
Tanaman sorgum, terutama sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) memiliki keunikan yakni mampu mengikat CO2 menjadi gula, seperti halnya tebu dan jagung.
Sorgum manis juga tanaman multi-guna, sebab bijinya dapat diolah jadi bahan pangan bebas-gluten, campuran pakan ternak ataupun diproses menjadi bioethanol dan daunnya bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Sementara Nira (juice) yang diperas dari batangnya mempunyai kandungan gula yang cukup sebanding dengan tebu sehingga dapat diproses menjadi bioethanol dan bagasnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau bahan bakar.
Daripada tebu dan jagung, Sorgum sebagai bahan baku bioethanol memiliki keunggulan, di antaranya: umur panen sorghum yang pendek sehingga dapat dipanen 3–4 kali dalam setahun.
Selain itu, sorgum juga mempunyai daerah adaptasi yang sangat luas; toleransi yang lebih baik terhadap kekeringan dan tahan terhadap genangan air, serta mempunyai resiko gagal panen akibat hama dan penyakit yang relatif kecil.
Berangkat dari segala kemudahan yang ditawarkan sorgum itu, Prof. Suwardji melihat bahwa NTB merupakan wilayah yang memiliki potensi besar sebagai lahan pengembangan.
Data dari BPS Propinsi NTB (2002) menunjukkan bahwa dari wilayah
Provinsi NTB seluas 2.015.314 hektar, sebagian besar berupa lahan kering (83,4 %)
yang berpeluang untuk pengembangan pertanian yang produktif dan
pemanfaatan non pertanian.
“Potensi lahan keringnya itu luas sekali di KLU dan Lotim, terutama di daerah Sekaroh. Jadi ada 3.500 ha itu kadang-kadang jagung gagal karena kurang hujan, (sedangkan) kebutuhan air untuk sorgum itu separuh daripada jagung. Jadi potensi berhasilnya lebih tinggi,” jelasnya.
Namun demikian, meski memiliki potensi lahan kering yang besar, pengembangan sorgum di NTB tidak mudah. Menurut, Prof. Suwardji, NTB membutuhkan pabrik industri yang mendukung pengembangan sorgum.
“Jadi kalau di situ sudah ada perusahaan berdiri, petani mau menjual gilingan bioethanol, terus menghasilkan produk pangan, menghasilkan pakan ternak, ya bergulir sudah,” terangnya.
Ia juga menyampaikan, bahwa upaya pengembangan budidaya sorgum untuk bioethanol perlu campur tangan pemerintah daerah. Keterlibatan Pemda diharapkan memotivasi petani-petani untuk menggarap lahan kering dengan sorgum.
“Mungkin ‘provokasi’ saja. Jadi coba diprovokasi dengan bahasa yang baik bahwa potensi dan pengembangan sorgum itu sangat besar. Penelitiannya sudah tidak perlu diragukan lagi,” tutur Prof. Suwardji. (sib)