Lombok (ekbisntb.com) – Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi menekankan pentingnya penguatan sektor formal, penyesuaian kompetensi tenaga kerja, dan perencanaan strategis dalam menghadapi pertumbuhan angkatan kerja baru.
Hal tersebut disampaikannya dalam Kegiatan Evaluasi Forum Komunikasi Lembaga Pelatihan dan Dunia Industri (FKLPI) yang diselenggarakan oleh BPVP Lombok Timur selaku Pembina FKLPID NTB di Hotel Lombok Plaza, Jumat 6 Desember 2024.
Kegiatan yang dihadiri oleh 20 perwakilan dari sektor industri ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan pasar kerja agar lulusan pelatihan dapat ditempatkan serta mendapatkan referensi untuk Training Need Analaysis (TNA). Selain itu dari kegiatan ini akan menjadi masukkan dalam program kerja FKLPID NTB di Tahun 2025.
Dalam paparannya, Aryadi menjelaskan bahwa FKLPI memainkan peran penting dalam mengidentifikasi kebutuhan lapangan kerja, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
“FKLPI saat ini tidak hanya fokus pada kebutuhan lokal, tetapi juga sudah meluas hingga pasar kerja luar negeri. Dengan demikian, peluang lebih luas bisa terbuka untuk tenaga kerja kita,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS Agustus 2024, jumlah angkatan kerja di NTB mencapai 3,19 juta orang, naik 216,34 ribu dibandingkan Agustus tahun lalu, dengan peningkatan lapangan kerja tertinggi terjadi di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Proporsi angkatan kerja di NTB yang didominasi oleh sektor informal, mencapai 70 persen, sementara sektor formal hanya menyerap 30 persen. Kondisi ini, menurut Aryadi, memerlukan perhatian khusus karena sektor informal cenderung lemah dalam hal perlindungan dan rentan terhadap guncangan ekonomi.
“Saat ini pekerja formal hanya mencapai 700 ribu, sementara sektor informal mencapai 1,8 juta. Kita perlu memperbesar sektor formal agar dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi tenaga kerja. Untuk itu, perlu upaya bersama dalam meningkatkan daya tahan sektor ini melalui pelatihan dan dukungan kebijakan yang terintegrasi,” ujarnya.
Aryadi menyebutkan memang saat ini sedang ada pembangunan industri pertambangan di Pulau Sumbawa. Menurutnya, sektor tambang memang menyumbang pertumbuhan ekonomi, tetapi kontribusinya terhadap penciptaan lapangan kerja masih minim. Ia menegaskan bahwa arah kebijakan ke depan harus berfokus pada sektor padat karya di luar industri tambang.
“Sektor tambang hanya menyerap 16 persen tenaga kerja, padahal kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi sangat besar. Oleh karena itu, RPJMD kita fokus pada sektor padat karya seperti pengolahan hasil pertanian, pariwisata, transportasi, dan konstruksi,” tegasnya.
Ia menggarisbawahi bahwa sektor pertanian dan perikanan juga perlu mendapat perhatian sebagai bagian dari upaya diversifikasi ekonomi daerah.
“Sebanyak 48 persen tenaga kerja kita berada di sektor pertanian, dan ini perlu terus didorong melalui inovasi, investasi dan modernisasi agar sektor ini semakin produktif,” imbuhnya.
Aryadi menekankan bahwa penguatan sektor industri pengolahan juga harus menjadi prioritas. Ia mencontohkan bagaimana pengolahan produk lokal, seperti jagung, kopi dan hasil laut, dapat memberikan nilai tambah yang signifikan dan membuka lebih banyak lapangan kerja.
“Industri pengolahan adalah kunci untuk menciptakan nilai tambah pada komoditas lokal, sekaligus meningkatkan daya saing tenaga kerja kita,” tegasnya.
Dengan rata-rata penambahan angkatan kerja baru sebanyak 200 ribu orang per tahun, Aryadi menekankan perlunya penyesuaian antara kebutuhan pasar kerja dengan kompetensi tenaga kerja. Namun, ia mengakui adanya tantangan seperti mismatch antara keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan perusahaan, serta minimnya sertifikasi tenaga kerja.
“Masalah mismatch dan kurangnya sertifikasi menjadi kendala utama. Selain itu, kita juga harus menghadapi tantangan seperti pekerja musiman dan peningkatan angka pengangguran akibat berakhirnya proyek infrastruktur di akhir tahun ini,” jelas Aryadi.(ris)