Lombok (ekbisntb.com) – Banjir yang melanda Kota Mataram dan sebagian wilayah Lombok Barat pada Ahad, 6 Juli 2025, menuai sorotan luas dari masyarakat. Sejumlah komplek perumahan terendam, pemukiman padat penduduk pun tak luput dari genangan air.
Sorotan pun mengarah pada para pengembang perumahan. Namun, Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Real Estate Indonesia (REI) NTB, H. Heri Susanto, menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa dilihat sepihak.

Menurutnya, setiap pembangunan perumahan oleh pengembang sudah melalui prosedur analisis dampak lingkungan, termasuk dalam hal pengelolaan drainase dan tata letak bangunan.
“Setiap pengembang yang membangun kawasan perumahan wajib memiliki dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan) yang disetujui pemerintah daerah. Di dalamnya memuat urugan tanah, tinggi pondasi rumah dari jalan, drainase, dan semua hal teknis yang menghindari dampak seperti banjir,” kata Mantan Ketua REI NTB dua periode ini.
Ia menekankan bahwa dokumen UKL-UPL itu merupakan syarat mutlak sebelum izin membangun diberikan. Karenanya, jika pengembang telah mematuhi seluruh ketentuan, maka sumber persoalan banjir harus dicermati lebih luas dan objektif.
Heri menyebut salah satu contoh nyata di Mataram yang dialaminya sendiri. Sebuah komplek perumahan yang dibangunnya sejak 2013, selama lebih dari satu dekade tak pernah kebanjiran. Namun, pada banjir awal Juli ini, air tiba-tiba menggenangi rumah-rumah warga.
“Saya turun langsung cek ke lapangan, ternyata di belakang perumahan ada kos-kosan baru yang dibangun dengan memakan setengah badan sungai. Itu bangunan tanpa izin, dan melanggar sempadan sungai. Tapi kok dibiarkan?” ujarnya heran.
Menurutnya, ini menunjukkan ada ketimpangan dalam penegakan aturan. Sementara pengembang resmi selalu diawasi ketat, warga yang membangun tanpa izin di badan sungai justru nyaris tak pernah ditindak.
“Kalau bicara aturan, sempadan sungai saja tidak boleh dibangun, apalagi di atas badan sungainya. Tapi kenapa hanya pengembang yang selalu disalahkan ketika terjadi banjir?” tegasnya.
Karena itu, Heri Susanto mengatakan, pemerintah daerah yang menurutnya seharusnya melakukan penertiban secara menyeluruh terhadap bangunan liar, khususnya yang berada di bantaran atau bahkan di atas sungai.
“Ada masyarakat yang membangun kos-kosan pakai pondasi di atas sungai. Kalau itu dibiarkan, ya pasti berdampak pada saluran air. Harusnya ditindak tegas juga,” katanya.
Ia menegaskan bahwa pengembang resmi tidak akan berani membangun atau mengurug tanah tanpa izin, karena risikonya adalah sanksi pidana. Maka dari itu, perlakuan yang adil dan penegakan hukum yang konsisten menjadi penting dalam menangani persoalan banjir yang makin sering terjadi.
“Kalau ada developer yang melanggar, silakan ditindak. Tapi kalau ada warga juga yang melanggar aturan sempadan sungai atau membangun tanpa izin, jangan dibiarkan. Jangan tebang pilih,” tegasnya.
Heri berharap para pemimpin daerah melihat banjir tidak hanya fokus pada Amdal milik pengembang, tapi juga melihat secara komprehensif seluruh sistem tata ruang kota. Ia menyebut bahwa seluruh aliran sungai di Kota Mataram berasal dari hulu di Lombok Barat, sehingga penanganan banjir juga harus lintas wilayah.
“Jangan hanya menyalahkan kawasan perumahan. Akar masalah banjir ini ada di banyak titik, dari alih fungsi lahan, pembangunan tanpa izin, sampai drainase yang tidak terkoneksi,” pungkasnya.
Dengan penanganan yang adil dan menyeluruh, ia yakin bencana banjir di Kota Mataram bisa dikendalikan, tanpa perlu terus menerus mengkambinghitamkan satu pihak.(bul)