NTB merupakan daerah penyangga pangan nasional. Hasil-hasil produksi pertanian, seperti padi, cabai, kacang panjang, jagung dan komoditi lainnya banyak dikirim untuk memenuhi stok pasar di beberapa daerah di Indonesia. Namun, pemenuhan stok ini bisa saja terganggu, jika tidak ada antisipasi pemerintah daerah dan stakeholder lainnya pada musim kemarau ini. Perlu ada antisipasi pemerintah agar ancaman produksi pangan di daerah ini tidak terganggu.
‘’SERING hujan tidak di Mataram?’’ tanya salah satu petani di Lombok Barat (Lobar) pada Ekbis NTB saat turun lapangan, Sabtu 1 Juni 2024. Pertanyaan petani ini diajukannya, karena dalam beberapa minggu ke belakang hujan belum mengguyur wilayahnya, khususnya areal persawahan di sekitar Gerung, Labuapi dan Kediri.
Amaq Rizka, menuturkan, jika dalam beberapa hari terakhir ini areal pertanian di Lobar banyak yang kering, karena pasokan air dari saluran irigasi sangat kecil. Bahkan, banyak saluran irigasi yang sudah mengering, karena hujan yang diharapkan turun tidak ada. Padahal di bagian utara Pulau Lombok, jika dilihat dari wilayah bagian tengah atau selatan Lobar sering mendung.
Meski demikian, ujarnya, beberapa petani tidak kehilangan akal. Mereka menggali sumur atau membuat kolam di bagian sawahnya. Nanti sumur atau kolam ini saat hujan atau mendapat giliran distribusi air dari pekasih bisa ditampung. Setelah itu, dengan menggunakan mesin air dialirkan ke sawah, sehingga tanaman bisa diselamatkan dan tidak merugikan petani.
Di sisi lain, ungkapnya, sejumlah petani rela begadang untuk mengalirkan air ke sawahnya pada malam hingga dini hari. Meski terkadang dihadapkan dengan sejumlah petani lain yang juga membutuhkan air, cekcok mulut terkadang tidak bisa dihindari.
Memang, keluhan petani ini sangat mendasar, karena Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan tahun 2024 bakal akan lebih panas lagi dari tahun 2023. Pemanasan global dan perubahan iklim diperkirakan berlanjut.
Panas yang meningkat ini akan mengakibatkan produksi pangan terganggu, jika ketersediaan air tidak sebanding dengan kebutuhan sektor pertanian. Di sisi lain, produksi pangan ditargetkan harus meningkat. Karena terjadinya peningkatan permintaan. Jika tidak, ancamannya adalah kekurangan pangan dan lonjakan harga pangan. Pemerintah harus memiliki cara untuk mengantisipasi dampak ekstrem panas ini.
Tidak hanya itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati sudah bersurat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait potensi kemarau panjang di sejumlah wilayah imbas musim kemarau. Dalam surat tersebut, Dwikorita menjelaskan, dari hasil analisis curah hujan dan analisis sifat hujan untuk 3 dasarian terakhir, menunjukkan bahwa kondisi kering sudah mulai memasuki wilayah Indonesia, khususnya di bagian selatan Khatulistiwa.
BMKG dalam Prediksi Musim Kemarau Tahun 2024 di Indonesia, menyebut pada Juni ini bakal ada sekitar 167 Zona Musim (ZOM) atau sekitar 23,89 persen yang bakal memasuki musim kemarau. Awal musim kemarau ditetapkan berdasarkan jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter dan diikuti oleh dua dasarian berikutnya.
Tidak hanya itu, awal musim kemarau ditetapkan apabila terdapat satu dasarian dengan curah hujan kurang dari 50 milimeter dan ketika dijumlahkan dengan dua dasarian berikutnya, total curah hujan dalam tiga dasarian tersebut kurang dari 150 milimeter. Dalam kondisi ini, awal musim kemarau akan dimulai pada dasarian pertama ketika curah hujan dalam dasarian tersebut juga kurang dari 50 milimeter.
Dwikorita Karnawati ketika memberikan keterangan pers sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa 28 Mei 2024 lalu, mengatakan indikasi tersebut menandakan “tidak akan terjadi El Nino” pada musim kemarau kali ini.
Tidak seperti tahun lalu, kehadiran El Nino mengakibatkan kekeringan yang lebih luas, karena hampir seluruh wilayah Indonesia menjadi lebih kering dari biasanya.Namun demikian, masih ada sejumlah wilayah di Indonesia, terutama di bagian selatan garis Ekuator seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang diprediksi bakal mengalami curah hujan yang lebih rendah dari normalnya. Inilah yang mesti diantisipasi oleh pemerintah daerah dan stakeholder lainnya, agar kekeringan ini tidak semakin berdampak parah bagi petani dan juga masyarakat.
Hal senada disampaikan BMKG Stasiun Klimatologi NTB yang menyatakan wilayah Provinsi NTB kini mulai memasuki periode musim kemarau. Hal ini terlihat dari curah hujan pada dasarian III Mei 2024 yang secara umum dalam kategori rendah.
Prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi NTB, Nindya Kirana mengatakan, berdasarkan monitoring Hari Tanpa Hujan Berturut-turut (HTH) wilayah NTB berada pada kategori sangat panjang, yakni 31 sampai 60 hari. Termasuk, dari prediksi potensi hujan di dasarian I Juni 2024 (1-10 Juni 2024), kurang lebih 20 mm/dasarian dengan probabilitas 80 sampai 90 persen.
“Berdasarkan monitoring, analisis dan prediksi curah hujan dasarian, maka kami mengingatkan terdapat indikasi kekeringan meteorologis (iklim) sebagai dampak dari kejadian hari kering berturut-turut dengan indikator hari tanpa hujan,” jelas Nindya Kirana dalam keterangannya akhir pekan kemarin.
Sejumlah daerah di Provinsi NTB pun mendapat peringatan dini agar mengantisipasi dampak terhadap indikasi kekeringan meteorologis tersebut. Peringatan dini level siaga kekeringan ada di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, serta Kecamatan Lape dan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa.
Level waspada ada di Kecamatan Pajo, Huu, Kilo dan Pekan Kabupaten Dompu. Kemudian sejumlah kecamatan di Kabupaten Bima seperti Kecamatan Belo, Bolo, Donggo, Lambitu, Lambu, Madapangga, Monta, Palibelo, Sanggar, Sape, Tambora dan Woha. Selain itu, ada Kecamatan Raba dan Rasanae Timur Kota Bima diikuti, Kecamatan Gerung, Kediri, dan Lembar Kabupaten Lombok Barat. Lombok Tengah di Kecamatan Batukliang, Batukliang Utara, Janapria, Praya, Praya Barat, Praya Barat Daya, Praya Tengah, dan Praya Timur.
Kabupaten Lombok Timur di Kecamatan Jerowaru, Keruak, Masbagik, Montong Gading, Pringgabaya, Sakra Barat, Sambelia, Sembalun, Sikur, Suela, Sukamulia, Terara.
“Kemudian, Kabupaten Lombok Utara di Kecamatan Bayan dan Tanjung. Kabupaten Sumbawa yaitu di Empang, Labuhan Badas, Lenangguar, Moyo Utara, Orong Telu, Rhee, Sumbawa, Unter Iwes, dan Utan. Sumbawa Barat di Kecamatan Jereweh dan Maluk,” tambah Nindya.
Masyarakat NTB yang berada di daerah tersebut diimbau agar dapat menggunakan air secara bijak, efektif dan efisien. Serta, perlu mewaspadai akan terjadinya bencana kebakaran hutan, lahan, dan kekeringan yang umumnya terjadi pada periode puncak musim kemarau.
“Masyarakat dapat memanfaatkan penampungan air seperti embung, waduk, atau penampungan air hujan lainnya guna mengantisipasi kekurangan air khususnya di wilayah-wilayah yang sering terjadi kekeringan,” imbau Nindya. (ham/ris)
Artikel lainnya….
Garuda Indonesia : 13 Kloter JCH Embarkasi Lombok Diterbangkan Tepat Waktu
Perkuat Pendampingan Ibu-ibu Nasabah di Lombok Melalui Program Bestee BTPN Syariah
Ulang Tahun ke 29, Telkomsel Berikan Penawaran Menarik dan Nobar Bersama Pelanggan Setia