Mataram (Ekbis NTB) – Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan 60 blok wilayah pertambangan rakyat (WPR) di Provinsi NTB. Penetapan WPR ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 89 Tahun 2022.
60 blok WPR ini tersebar di sejumlah kabupaten di Provinsi NTB. Diantaranya, 32 blok di Kabupaten Lombok Barat. 3 blok di Kabupaten Sumbawa Barat. 11 blok di Kabupaten Sumbawa, 13 blok di Kabupaten Dompu, dan 1 blok di Kabupaten Bima.
“Ini usulan lama. Sekitar tahun 2019-2020,” kata Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Provinsi NTB, Iwan Setiawan di ruang kerjanya, Selasa 2 April 2024.
Sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Minerba Nomor 4 tahun 2009, 1 blok luasannya 25 hektar. Dengan demikian, 60 blok yang ditetapkan di NTB adalah seluas 1.469,84 hektar.
Selanjutnya, pemerintah daerah di NTB mengusulkan tambahan WPR 8 blok. Terdiri dari 6 blok di Kabupaten Sumbawa, dan 2 blok di Kabupaten Lombok Barat.
Iwan menjelaskan, 60 WPR yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM ini adalam tambang-tambang rakyat yang statusnya illegal. Rata rata adalah tambang mineral yang isinya antara lain emas, tembaga, dan pasir besi. Dengan penetapan WPR ini, diharapkan menjadi solusi tengah untuk penambangan rakyat.
Setelah ditetapkan, lanjut Iwan, Kementerian ESDM akan membuat dokumen pengelolaan WPR, bersama dengan pemerintah provinsi. Jika dokumen ini rampung, harapannya tahun ini, maka kelompok masyarakat dapat mengajukan perizinan penambangan.
“Bisa individu, bisa kelompok. Tapi sebaiknya pengajian izin dalam bentuk koperasi. Sehingga lebih mudah terkoordinir dan terkontrol,” ujarnya.
Pengajuan izin, dilakukan secara online melalui OSS (Online Single Submission), setelah memenuhi syarat-syarat penambangan seperti pada umumnya. Dengan penetapan WPR ini, tambang-tambang rakyat yang selama ini dilakukan secara tertutup (underground) yang risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)nya sangat tinggi, maka kedepan penambangannya akan dilakukan secara terbuka (open pit).
“Kalau sebelumnya penambangan rakyat ini dilakukan dengan risiko tinggi, lubang tambangnya hanya seukuran badan masuk, kalau terjadi longsor dan apa apa di dalam tambang, tidak ada yang bisa bertanggung jawab,” katanya. Sehingga dengan dilegalkan, dan penambangan dilakukan secara terbuka, ketentuan menambangnya akan diatur. Demikian juga teknis penambangannya harus dilakukan sesuai ketentuan. Begitu juga dengan pengelolaan lokasi pemurnian dan limbahnya, harus dilakukan pada lokasi-lokasi tertentu yang diusulkan dan tidak mengganggu lingkungan menuju GMP (Good Mining Praktise).
Iwan menambahkan, setelah WPR diitetapkan dan penambangannya nanti dilaksanakan secara legal, daerah juga akan mendapatkan dampak, yaitu PAD dalam bentuk retribusi-retribusi.
“Setelah WPR ditetapkan dan proses membuat dokumen pengelolaan WPR sedang berjalan, kalau di lapangan masih ada yang menambang-menambang, itu sudah ranahnya aparat,” demikian Iwan.(bul)