Lombok dengan kehidupan bermasyarakatnya lekat dengan seni dan budaya. Tata cara keberlangsungan hidup terus berdampingan dengan unsur seni dan budaya, salah satunya dalam prosesi adat pernikahan yang dikenal dengan Nyongkolan.
Dalam penyajiannya, tradisi Nyongkolan yang merupakan media sosialisasi masyarakat tentang telah berlangsungnya pernikahan dua sejoli, melibatkan unsur kesenian yakni seni musik. Kesenian ini fungsinya sebagai pengiring dan hiburan, karena prosesi Nyongkolan dilaksanakan seperti pawai, dari rumah mempelai laki-laki menuju rumah mempelai perempuan.
Beberapa tahun belakangan, ada dua jenis kesenian yang paling banyak digunakan sebagai pengiring dalam tradisi Nyongkolan yaitu Kesenian Kecimol dan Kesenian Gendang Beleq. Kesenian Kecimol merupakan orkes jalanan yang bercirikan adanya penggabungan instrumen musik modern dan tradisional, dengan repertoar bebas: lagu dangdut, pop, sasak, bahkan mancanegara.
Sedangkan Gendang Beleq adalah kesenian yang melekat dengan tradisi suku Sasak, baik dari segi instrumentasi, komposisi dan penyajiannya. Lagu yang dibawakan merupakan karya musik instrumental dengan nuansa pentatonis yang kental.
Belakangan ini, yang banyak menjadi sorotan adalah Musik Kecimol. Kesenian ini dianggap tidak sesuai adat dan ditentang masyarakat. Apa yang ditampilkan tidak mencerminkan ciri masyarakat suku Sasak yang menjunjung tinggi norma dan memelihara etika ketimuran. Tak hanya itu, label ‘biang kerok macet’ terus disematkan banyak oknum masyarakat terhadap musik yang danceable ini.
Banyak sekali stigma negatif tentang Musik Kecimol. Namun, penulis ingin sedikit mengupas dan menyatakan bahwa Musik Kecimol adalah musik yang sangat unik. Setidaknya, keunikan itu dapat dilihat dari tiga parameter; Instrumentasi, Komposisi, dan Penyajian.
Dari segi instrumentasi, dalam pertunjukan komplit Musik Kecimol alat musik yang digunakan variatif. Instrumennya terdiri keyboard, bass, gitar, drum elektronik, seruling dan gambus. Tak hanya itu, snare dan bass drum yang ada di musik Drum Band juga digunakan. Dengan merinci alat musiknya saja semua bisa tahu bahwa paduan alat musik di kecimol itu unik. Ada pencampuran alat musik ritmis-melodis, dan alat musik tradisional-modern. Tidak semua jenis pertunjukan musik mampu menggabungkan dan menampilkan seperti yang ada pada Musik Kecimol.
Dari segi komposisi, penulis yakin jika para penikmat musik menilik lebih dalam ada banyak keunikan dalam komposisi Musik Kecimol. Sebagai contoh lagu A, pada bagian intro dikemas dengan nuansa mellow dan karakteristik Cilokaq yang kental. Beralih ke pertengahan lagu tiba-tiba komposisinya berubah ke genre dangdut dengan balutan snare dan bass drum yang ritmis. Jelang coda, bisa saja berubah ke musik rock, reggae, dan koplo.
Dari segi penyajian, keunikan yang penulis amati, para pemain Musik Kecimol memainkan komposisi sambil jalan kaki. Biasanya ada 15-20 player yang memainkan musik, termasuk penyanyi dan penari. Sumber listrik juga dibawa dengan berjalan kaki. Tak ketinggalan, speaker berukuran besar juga diboyong kemanapun para player melangkah, didorong dengan penuh effort oleh crew grup Kecimol.
Pengalaman penulis, sulit rasanya bermain musik apalagi bernyanyi sambil jalan kaki. Energi dan fokus rawan terpecah. Namun ‘ajaib’nya para pemain Musik Kecimol tetap menampilkan pertunjukan musik yang utuh dan harmonis.
Sayangnya penyajian Musik Kecimol yang unik juga sekaligus mengundang respon negatif dari masyarakat. Penyajian yang disoroti adalah adanya penari dalam pertunjukan Musik Kecimol atau biasa disebut jangger. Jangger ini dianggap mempertontonkan gerakan-gerakan tidak etis seperti joget pinggul dan juga pakaian yang ketat.
Di samping itu, penyajian Kecimol kerap dikaitkan dengan penyebab macet karena banyak orang yang turut bergoyang ketika player memainkan musik. Lagu yang dibawakan danceable, mengundang joget dan mengganggu ketertiban di jalan. Secara garis besar, bentuk penyajian inilah yang di cap dan membuat resah masyarakat karena tidak mencerminkan budaya suku Sasak.
Lalu, apakah Kecimol harus dibubarkan? Pandangan penulis sesuai uraian di atas, pembubaran Kecimol tampaknya bukan solusi tepat. Hal ini karena jika diamati, problem yang mencuat dan menimbulkan stigma di masyarakat terkait penyajiannya.
Banyak celah untuk melakukan perbaikan, misalnya dengan menata penyajian musik Kecimol di Jalanan. Penataan ini bisa menyasar cara berpakaian dan gerakan joget yang ditampilkan jangger. Harus disepakati oleh asosiasi bahwa penyajian Musik Kecimol harus sedemikian rupa tidak bertentangan dengan norma. Jika tidak, grup kecimol bisa dikenakan sanksi.
Selain itu, daerah yang menjadi area pertunjukan Kecimol memberlakukan aturan yang relevan. Misalnya, jika hendak tampil di wilayah Desa A, syaratnya harus berpakaian sopan, tidak erotis, dan sebagainya. Jika tidak dipatuhi, maka grup kecimol dilarang tampil di area tersebut.
Musik Kecimol adalah produk kreatif yang sudah hidup bertahun-tahun di masyarakat. Lebih jauh, Musik Kecimol bukan hanya hiburan semata namun sudah mengakar menjdi tempat banyak orang menggantungkan hidup. Penulis sepakat, bahwa kecimol harus diatur, bukan dibubarkan. Ibarat mengonsumsi makanan, jika eneg maka suapan berikutnya bisa ditambahkan garam atau sedikit cabe. Mubazir jika makanannya langsung dibuang.