Lombok (ekbisntb.com) – Di balik ademnya penyelenggaraan Festival Olahraga Rekreasi Nasional (Fornas) VIII di Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat kisah perjuangan, kerja kolektif, dan pilihan berani yang tak banyak diketahui publik. NTB tidak memilih jalan mudah. Alih-alih memusatkan seluruh kegiatan di satu lokasi, panitia justru menyebar venue pertandingan ke seluruh kabupaten/kota di Pulau Lombok—sebuah keputusan strategis yang disebut sebagai “jalan terjal”.
“Dari awal kami sepakat, ini bukan soal efisiensi semata. Ini tentang pemerataan manfaat dan legacy jangka panjang bagi daerah,” ujar Lalu Kholid Karyadi, Deputi IV Bidang Human Resources Fornas VIII, Rabu, 30 Juli 2025.

Sebanyak 74 cabang olahraga rekreasi (inorga) digelar secara serentak di 43 titik venue di lima kabupaten/kota di Pulau Lombok. Di Kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Lombok Utara.
Pilihan ini bukan tanpa risiko. Koordinasi yang lebih kompleks, logistik yang menyebar, hingga kebutuhan SDM yang jauh lebih besar.
“Sebenarnya kalau mau gampang, semua bisa kita pusatkan di eks Bandara Selaparang, dirikan tenda besar, beres. Dan kita buat los panggung, semua lomba dipusatkan di situ. Kami sudah pertimbangkan sekenario itu sebelum Fornas dilaksanakan. Tapi, apa dampaknya bagi daerah lain?. Kami ingin semua kabupaten/kota terlibat dan merasakan efek ekonomi, sosial, dan emosional dari Fornas ini. maka, kegiatannya di sebar se Pulau Lombok.
Kenapa tidak di Pulau Sumbawa, karena banyak tim yang tidak siap dengan pembengkakan biaya dan waktu karena harus melintasi pulau lagi,” ungkapnya.
Langkah pemerataan tempat penyelenggaraan perlombaan ini bukan hanya tentang pemerataan. Ia juga menjadi trigger bagi pertumbuhan ekonomi lokal. Kebutuhan panggung, sound system, katering, dekorasi, hingga MC dan fotografer, semuanya diberdayakan dari sumber daya lokal.
“Bayangkan, 74 cabor semua butuh panggung, sound, konsumsi. Vendor-vendor lokal hidup. Anak-anak muda kita jadi MC, fotografer, bahkan jadi kru event. Ini bukan event elite, tapi milik rakyat. Karena semua orang lokal diberdayakan. Kan ndak mungkin bawa sound, terop, kursi, dan lainnya dari luar. Semua pasti ngambil yang terdekat dari lokasi acara. Itulah konsep pemerataan yang diharapkan,” ungkapnya.
Pihak panitia juga sengaja memanfaatkan momentum ini untuk menumbuhkan sektor UMKM.
“Di setiap venue ada bazar UMKM. Produk lokal naik kelas. Untuk penutupan saja, kita libatkan 100 pelaku UMKM,” tambah Kholid.
Penyebaran venue juga menuntut koordinasi lintas sektor yang masif. Setiap venue harus memiliki standar layanan kesehatan, kebersihan, dan keamanan yang sama.
“Tim kesehatan kita ada 250 orang yang mobile ke semua titik. Tim kebersihan hampir 200 orang. Itu belum termasuk relawan, tim keamanan, dan transportasi. Semuanya terlibat,” katanya.
Khusus keamanan, sinergi antara TNI-Polri, Satpol PP, dan Dinas Perhubungan menjadi kunci. Pada pembukaan saja, lebih dari 500 personel gabungan dikerahkan.
Poin krusial lain adalah transportasi. Untuk mengakomodasi mobilitas panitia dan perangkat pertandingan, panitia menyediakan 80 unit kendaraan, termasuk mobil listrik dan minibus yang beroperasi dengan sistem carpooling.
“Transportasi teknis kita atur by-order. Wasit, juri, panitia, semua terlayani dengan sistem pemesanan melalui WA Center,” terang Kholid.
Bagi pengunjung, panitia juga menyediakan 10 unit shuttle bus yang beroperasi dari Islamic Center ke berbagai venue utama. Area parkir publik pun telah disiapkan dengan sistem pintu masuk terpisah untuk pengunjung dan VIP.
Relawan atau volunteer menjadi ujung tombak pelaksanaan teknis di lapangan. Mereka bertugas mulai dari pengaturan tamu, penataan panggung, hingga pemandu UMKM.
“Untuk closing saja, kita butuh lebih dari 50 relawan khusus. Kalau ditotal sejak pembukaan, jumlahnya lebih dari 500 orang. Semua berasal dari NTB. Ini event yang menumbuhkan rasa percaya diri anak daerah.” tambahnya.
Lebih dari sekadar festival olahraga rekreasi, Fornas VIII NTB menjadi ajang pembuktian. Bukan hanya kepada peserta, tetapi kepada publik nasional bahwa NTB mampu menyelenggarakan event skala besar. dan dampaknya sangat besar mengalir di daerah. Multiplier effect Nya.
“Ini jadi tolok ukur kita menuju PON 2028. Kalau Fornas kita sukses, maka kita tinggal naik satu tingkat lagi ke event yang lebih besar. Yang kita ukur bukan hanya teknis pertandingan, tapi juga logistik, SDM, manajemen risiko, dan legacy,” ungkap Kholid.
Menurutnya, keberhasilan Fornas di NTB bukan karena panggung megah atau lighting canggih. Justru, keberhasilan itu lahir dari sinergi lintas sektor, kerja gotong royong masyarakat lokal, dan komitmen untuk memberi manfaat luas.
“Koordinasi dengan semua kepala daerah di kabupaten/kota terjalin sangat bagus. semua saling mendukung. Saling mengisi kekurangan. Dan terbukti semua bisa kita tangani secara lokal. Inilah wajah NTB yang sesungguhnya: gotong royong, berani memilih jalan terjal, dan siap naik kelas. Kita tidak memilih simpelnya acara diselenggarakan, tetapi bagaimana semua dapat manfaat. Walaupun mengordinir penyelenggaraan lintas tempat itu tidak mudah. Ini yang tidak banyak diketahui,” tutup Lalu Kholid.(bul)