Lombok (ekbisntb.com) – Sanksi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kepada PDAM dan TCN atas KPBU Air bersih di Gili Trawangan, mengancam keberlangsungan pariwisata di pulau itu. Gili Hotels Association (GHA) sangat khawatir, pelaku pariwisata khususnya perhotelan akan terancam bangkrut jika krisis air bersih tidak memiliki solusi.
Ketua GHA Kabupaten Lombok Utara (KLU), Lalu Kusnawan, kepada Ekbis NTB, Minggu 6 Juli 2025 menegaskan, isu sanksi KPPU tidak hanya sangat meresahkan pelaku perusahaan. Lebih dari itu, sanksi tersebut menjadi ancaman baru yang tidak menutup kemungkinan dapat memundurkan usaha pariwisata di Gili Trawangan ke titik minus.

“Jelang high season, progres kunjungan cukup bagus. Ada potensi peningkatan pendapatan sampai 14 persen dari tahun lalu. Tetapi satu isu yang teramat sangat kami khawatirkan, sejauhmana status sanksi KPPU bisa diatasi,” ungkap Kusnawan.
General Manajer (GM) Hotel Willson’s Retreat Gili Trawangan ini menegaskan, munculnya sanksi KPPU atas KPBU kepada PDAM merupakan isyarat bahwa Pemda belum memberikan kepastian hukum investasi kepada pelaku pariwisata. Sebab, sejak BAL beroperasi, kemudian digantikan KPBU PDAM – PT. TCN, air bersih selalu menjadi isu panas sektor pariwisata 3 Gili.
Ia mengingat, isu air bersih di 3 Gili seolah menjadi fenomena dalam 3 tahun terakhir, terutama menjelang musim high season. Diakui atau tidak, isu tersebut berdampak langsung bagi kunjungan wisata, dimana banyak tamu yang membatalkan pesanan menginap di Gili Trawangan.
“Adanya status sanksi KPPU ini, membuat pengusaha bertanya, komitmen pemerintah terhadap jaminan kepastian hukum investasi seperti apa. Harusnya begitu Surat KPPU keluar, Pemda surati kami para pengusaha, jelaskan apa yang terjadi.”
“Saya tidak melihat persoalan TCNnya, tapi Pemda dan PDAM. Sanksi sudah keluar, artinya air kan disetop. Lalu solusi pemerintah apa,” tambahnya.
Kusnawan menilai, Pemda KLU sejatinya sudah jelas mengetahui mana kebutuhan penting, menimbulkan potensi krusial dan mana yang tidak, dalam keberlangsungan pariwisata khususnya 3 Gili. Patutnya, pemerintah daerah tidak mendiamkan persoalan yang sama, terjadi secara terus menerus.
“Masa Pemda tidak belajar, sudah 3 tahun masalah air bersih dan tiap tahun terjadi hampir jelang high season. Dampaknya tidak usah ditanya. Jangkan yang sudah terjadi, sekedar isu saja, orang bisa cancel,” tegasnya.
Kusnawan menyambung, nafas para pelaku usaha pariwisata 3 Gili sangat bergantung pada jeda waktu 30 hari masa bayar denda yang dibebankan KPPU atau bisa sedikit lebih panjang menyesuaikan dengan alur sanggah/banding sanksi andaikata itu dilakukan. Namun terlepas dari itu, para pengusaha perhotelan saat ini menuntut adanya solusi jangka panjang air bersih yang menjamin ketersediaan, kecukupan dan kualitas sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Di sisi lain, pihakna menegaskan tidak ada langkah antisipasi lain yang bisa dilakukan oleh para pelaku perhotelan andaikata sanksi KPPU berlanjut. Misalnya, menggunakan air sumur.
Penggunaan air sumur bagi dia, bisa berisiko bagi keberlangsungan property di masa depan. Pasalnya, sampai saat ini, manajemen hotel tidak menggunakan air sumur lagi setelah keluarnya Keputusan Bupati, H. Djohan Sjamsu beberapa tahun lalu.
“Kalau pakai air sumur, akan tumpang tindih, kita jelas dilarang tidak boleh menggunakan air sumur/sumur bor sesuai Perbup. Tidak ada pilihan lain. Kalau sampai itu dilakukan, perhotelan bisa kena sanksi,” sambungnya.
“Jadi untuk saat ini, kita bukan khawatir lagi. Ibarat listrik, kita sudah dilayani PLN, tidak mungkin perhotelan lalu menggunakan lilin untuk memberi penerangan kepada tamu,” tandasnya. (ari)