spot_img
26.5 C
Mataram
BerandaKeuanganBuntut OTT di Dikbud NTB, Gapensi NTB Sarankan Pemerintah Tetap Gunakan Sistem yang...

Buntut OTT di Dikbud NTB, Gapensi NTB Sarankan Pemerintah Tetap Gunakan Sistem yang Ideal

GABUNGAN Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan penolakan terhadap sistem lelang proyek fisik yang menggunakan mekanisme swakelola Tipe 1.

Ketua Umum Gapensi NTB, H. Agus Mulyadi, menilai sistem ini memiliki kesamaan dengan sistem yang sedang  diberlakukan beberapa daerah di Indonesia, yaitu sistem pengadaan jasa konstruksi yang mengacu pada  PP 12 tahun 2021 dilaksanakan melalui sistem e-katalog/ mini kompetisi. Hal ini memiliki  kelemahan yang dapat berdampak negatif pada pelaksanaan proyek konstruksi.

- Iklan -

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2022 era menteri Nadim Makarim.

Dalam salah satu pasal disebutkan, pelaksanaan DAK Fisik Bidang Pendidikan  oleh Dinas dapat dilakukan melalui mekanisme pengadaan barang/jasa dengan cara swakelola dan/atau penyedia.

Sebagaimana diketahui, Swakelola Tipe 1 adalah salah satu jenis pelaksanaan proyek yang dilakukan secara mandiri oleh suatu instansi pemerintah, tanpa melibatkan kontraktor pihak ketiga. Dalam sistem ini, instansi tersebut bertanggung jawab penuh atas seluruh tahapan proyek, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan.

Menurut Agus Mulyadi, pola ini memberikan kewenangan mutlak kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

“PPK memiliki kekuasaan mutlak dan atau secara subyektif menunjuk penyedia.  Ini membuka peluang  terjadinya kongkalikong dan penyalahgunaan wewenang. Inilah salah satu dampak negatif yang muncul terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) Kabid SMK pada Dikbud NTB, bahkan berpotensi lebih besar terjadi, jika diberlakukan PP 12 tahun 2021, karena bukan lagi sebatas lembaga kementrian pendidikan namun secara menyeluruh,”tegas Agus.

Begitupun, dalam PP 12 tahun 2021 memang proses perencanaan dan pengawasan diberikan pada penyedia jasa profesional. Namun, terjadi kesamaan pola dalam penunjukan penyedia jasa konstruksi. Dimana sistem ini  tidak melalui proses berlapis dalam penunjukan pemenang.

“Perlu dilakukan kajian konprehensif terhadap pemberlakuan regulasi PP 12 tahun 2021 ini, karena berpotensi KKN atau absolute power (kewenangan mutlak) pada PPK,” ungkapnya.

Disisi lain, Agus juga mengkritik pemisahan kewenangan dalam pengadaan material dan pelaksanaan konstruksi.

Contoh kecil saja di dalam penerapan swakelola type I yang terjadi di Dikbud NTB, penyediaan material diserahkan kepada toko bangunan atau pihak yang ditunjuk, sementara kontraktor hanya bertanggung jawab pada pelaksanaan konstruksi.

“Padahal, kontraktor yang memiliki sertifikat badan usaha seharusnya dapat melaksanakan seluruh proses, mulai dari pengadaan bahan hingga pengerjaan proyek. Pemisahan ini berpotensi menimbulkan miskomunikasi antara kontraktor dan penyedia material,” jelasnya.

Menurut Agus, sistem tersebut menyulitkan kontraktor dalam mengatur manajemen lapangan. Ketergantungan pada penyedia bahan yang ditunjuk PPK membuat kontraktor tidak memiliki kendali penuh atas jadwal pengiriman material.

 “Ketimpangan antara pengiriman material dan kebutuhan lapangan dapat menyebabkan proyek mandek, kualitas menurun, dan penyelesaian tidak tepat waktu,” ujar Agus.

Agus menilai bahwa mekanisme swakelola menciptakan potensi besar untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

“Siapa saja bisa menjadi penyedia material melalui mekanisme ini, bahkan pedagang kecil sekalipun, asalkan mendapatkan persetujuan PPK. Ini menciptakan celah untuk kongkalikong, seperti yang terjadi dalam kasus OTT Kabid SMK Dikbud NTB baru-baru ini,” ungkapnya.

Gapensi NTB berharap agar Pemerintah Pusat dan daerah meninjau ulang pemberlakuan regulasi terkait pelaksanaan proyek fisik yang dapat berpotensi terjadinya celah-celah KKN.

“Kami mengusulkan agar regulasi proyek konstruksi dikembalikan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Jasa Konstruksi. Mekanisme ini lebih transparan, adil, dan melibatkan saksi-saksi dari berbagai pihak,” ujar Agus.

Sebagai penutup, Agus menekankan bahwa kontraktor harus diberi kepercayaan penuh untuk mengelola seluruh aspek proyek.

“Pengelolaan total oleh kontraktor akan memastikan mutu, kualitas, dan ketepatan waktu penyelesaian proyek. Regulasi yang ada perlu ditinjau ulang untuk mendukung pelaksanaan proyek yang lebih profesional dan bebas dari potensi penyimpangan,” pungkasnya.(bul)

Informasi Layanan Pengaduan Lainnya



Artikel Yang Relevan

Iklan





Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut