Pembajakan NIK (Nomor Induk Kependudukan) adalah tindakan ilegal di mana seseorang secara tidak sah menggunakan NIK orang lain untuk melakukan berbagai aktivitas seperti untuk membuka rekening bank dan melakukan pencurian identitas. Data NIK yang dicuri ini bisa dipergunakan untuk mendaftar pada berbagai layanan online, seperti e-commerce, transportasi online, atau layanan keuangan lainnya, menggunakan data pribadi orang yang dipergunakan NIK-nya.
SEBUAH panggilan masuk di smartphone Bayu, salah satu warga kompleks perumahan di Mataram. Di layar smartphone tidak ada nama siapa yang memanggil. Namun, karena penasaran dari siapa yang menelepon, Bayu pun menerima panggilan tersebut.

Kepada Ekbis NTB belum lama ini, Bayu menuturkan, jika di ujung telepon tersebut ada suara wanita yang menanyakan, apakah yang menerima ini dirinya yang beralamat di seputaran Cakranegara atau bukan. Bayu yang menerima panggilan telepon itu pun membenarkan jika dia adalah yang dimaksud.
Tanpa basa-basi, tuturnya, penelepon tersebut menyampaikan, jika dirinya memiliki pinjaman di salah satu lembaga pinjaman yang harus segera dilunasi. Jika tidak segera dilunasi, maka akan sanksi dan nama baiknya akan disebar ke beberapa nomor handphone yang tersimpan di smartphonenya.
Namun, Bayu dengan tenang melayani penelepon yang mengancam akan menjelek-jelekkan dirinya lewat nomor handphone yang tersimpan. Tak berapa lama kemudian, Bayu balik mengancam, jika dirinya sudah tahu identitas wanita yang menelepon dan di mana kantornya. Bahkan, Bayu sengaja menyampaikan jika dirinya sudah tahu lokasi kos-kosan wanita penelepon ini.
Bayu balik mengancam, jika sang wanita masih terus menerus menelepon dan mengancam menyebarkan keburukan tentang dirinya, maka ia bersama warga akan mendatangi kantor lembaga pinjaman online ini dan menggerebeknya.
‘’Setelah saya mengancam balik seperti itu, sang penelepon langsung menutup teleponnya dan tidak pernah lagi menghubungi saya hingga saat ini,’’ ujarnya.
Bayu mengakui, jika dirinya tahu lokasi kantor lembaga pemberi pinjaman, karena tidak jauh dari tempat tinggalnya di Cakranegara. Bahkan, lokasi kos-kosan pekerja yang bekerja di lembaga pemberi pinjaman itu berada satu kompleks atau jalur di wilayah Cakranegara.
Lain halnya dengan Haeriyah, seorang pedagang di bawah Pasar ACC Ampenan. Haeriyah didatangi rumahnya oleh dua pria yang menggunakan sepeda motor di salah satu kompleks perumahan di Mataram. Dua pria tersebut menanyakan pada tetangga terkait lokasi rumah Haeriyah.
Belakangan diketahui, dua pria tersebut merupakan debt collector yang membawa surat tagihan dari satu lembaga peminjam keuangan pada Haeriyah.
Namun, Haeriyah menuturkan, jika dirinya tidak pernah meminjam dengan jumlah tertentu pada lembaga peminjam keuangan yang dimaksud. Ia juga heran, kenapa tagihan pinjaman itu dialamatkan pada dirinya, sementara dirinya tidak pernah meminjam.
Akhirnya dia menyadari, jika ia pernah memberikan foto copy KTP pada seorang temannya beberapa waktu lalu. Namun, ia tidak tahu jika foto copy yang diberikan tersebut disalahgunakan oleh temannya untuk meminjam uang.
Lain halnya dengan seorang Human Resource Development (HRD) di salah satu perusahaan yang ada di Kota Mataram, Luluq Intaniar yang mengaku datanya pernah tersebar dan diteror pinjol akibat salah mengklik link.
Ia menceritakan bahwa pada saat itu, dirinya sedang asyik menonton YouTube, namun karena salah ngeklik, terdownload aplikasi pinjol. Karena penasaran, dirinya mencoba untuk membuka aplikasi tersebut, tiba-tiba saldo Rp6 juta masuk ke dalam rekeningnya.
“Saya coba membuka aplikasi itu karena penasaran, namun sama sekali tidak melakukan pinjaman. Tapi, tiba-tiba masuk uang ke rekening saya sekitar Rp5 – 6 juta,” ujarnya saat dihubungi Ekbis NTB, Sabtu, 7 September 2024.
Karena merasa tidak meminjam, ia kemudian menghubungi kontak center aplikasi tersebut dan mengembalikan uang sejumlah yang ditransfer. Namun, setelah mengembalikan uang senilai Rp6 juta tersebut, Luluq mengaku banyak nomor yang menghubunginya dan mengancam akan menyebarluaskan data pribadinya.
“Bahkan mereka mengirim foto saya saat itu yang entah didapat darimana. Ancamannya banyak, jadi waktu itu saya ganti nomor. Mereka juga mengirim ancaman ke kontak saya yang entah didapat darimana,” jelasnya.
Dijelaskannya, syarat untuk membuka aplikasi pinjol tersebut adalah membubuhkan data pribadi berupa nama, NIK, dan nomor rekening.
“Pas waktu awal buka harus masukin itu (NIK, red), karena penasaran, saya buka aplikasi itu. Tapi tidak ada tindakan lebih lanjut seperti meminta, saya pikir selama tidak meminjam itu tidak masalah,” ungkapnya.
Takut karena mendapat ancaman yang begitu banyak, Luluq melapor ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setempat, dan berdasarkan penuturan Luluq, OJK meminta agar dirinya tidak merasa takut, selagi uang yang ditransfer sudah dikembalikan.
“OJK bilang abaikan saja, karena sudah pasti itu memeras. Mereka juga mengirim ancaman ke kontak saya yang artinya mereka pasti meretas data saya,” pungkasnya. (ham/era)