HARGA jagung di musim panen tahun ini sempat anjlok, di bawah harga Rp4.000 per kilogram. Padahal, sebelumnya harga jagung meroket hingga hampir menyentuh Rp10 ribu per kilogram. Anjloknya harga jagung ini mengundang reaksi, khususnya di sentra produksi jagung di Pulau Sumbawa. Kini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menerbitkan Harga Acuan Pembelian (HAP) baru untuk pembelian jagung di tingkat petani. Apakah dengan HAP ini akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani? Seperti apa pula dampaknya pada pengusaha unggas?
Turunnya harga jagung yang merupakan bahan dasar pakan unggas menjadi keuntungan sendiri bagi pengusaha unggas. Namun, bagi petani jagung, turunnya harga jagung membuat mereka rugi, karena tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan.
Bagi petani jagung, khususnya di Pulau Sumbawa, saat harga jagung ini turun, mereka mengalami kerugian yang tidak sedikit. Jagung-jagung yang ditanam di atas pegunungan membutuhkan biaya untuk mengangkutnya hingga sampai lokasi pengumpulan. Setelah itu dilakukan pengolahan yang membutuhkan biaya pula. Sementara, harga pembelian jagung oleh tengkulak dihargai di bawah Rp4.000, jauh di bawah HAP, sebesar Rp4.200 per kilogramnya.
Sapia (50) petani asal Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, terpaksa menjual jagung basah dengan kadar air 20-25 persen kepada pengepul dengan harga Rp2.900 per kilogramnya, Ia memilih jalan cepat ini, karena tidak memiliki sarana penunjang.
“Saya terpaksa jual dengan harga Rp 2.900 per kilogram jagung basah dengan kadar air 25-20 persen sehabis panen. Karena kami tak punya lahan untuk keringkan jagung,” katanya kepada Ekbis NTB, pekan kemarin.
Diakuinya, dengan harga demikian maka tidak akan bisa menutupi jumlah modal yang dikeluarkan. Di mana untuk pengolahan lahan, bibit, pupuk, dan perawatan lainnya membutuhkan biaya hingga Rp10-15 juta. “Dari panen saat ini hasilnya 6 ton jagung. Harga per kilogram Rp2.900, maka kami dapat lebih kurang Rp 16 juta,” ujarnya.
Sebelumnya untuk komoditas jagung, dihargai sebesar Rp5.000 per kilogram menjadi Rp3.000 hingga Rp2.900 per kilogram. Ironisnya, kondisi itu terjadi saat musim panen raya tiba, sehingga membuat petani merugi. “Harga jagung ini turun drastis. Tapi mau bagaimana lagi. Kita terpaksa jual murah karena harus bayar utang,” ucapnya.
Meski merugi, pihaknya bersyukur bisa panen dan bayar utang, karena ada juga jagung yang diserang hama dan puso jadi gagal panen.
Ia menyebutkan, bahwa harga yang berlaku tahun ini sangat jauh dari harapan. Panen tahun lalu, meski jagung basah tetap dihargai Rp5.000 per kilogram. Sehingga Sapia bisa mendapatkan keuntungan saat panen tahun 2023 mencapai Rp20 juta lebih. “Tahun ini benar-benar di luar prediksi, karena harganya sangat jauh, sehingga kami merugi,” tambahnya.
Kondisi anjloknya harga diperparah dengan mahalnya biaya perawatan mulai dari bibit pupuk dan pengolahan lahan. Namun karena tidak memiliki usaha lain, terpaksa dirinya menjadi petani jagung meski harganya tidak sesuai harapan. “Pupuk sekarang mahal, bibit jagung juga mahal, belum lagi biaya perawatan,” ujarnya.
Tunggu Harga Jual Bagus
Petani lainnya Wawan (36) mengaku harga jagung dengan kadar air tinggi yang berlaku saat ini sangat jauh dari harapan meski sejak sudah diprediksi harganya akan anjlok.
“Harga jual jagung sejak awal diprediksi anjlok saat panen raya. Sehingga saya memilih menyimpan dulu ketimbang menjualnya,” katanya.
Dia mengungkapkan, harga jagung yang berlaku saat ini terjun bebas, kisaran Rp2.800 per kilogram hingga Rp3.000 per kilogram. Harga tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang masih masih berkisar di angka Rp5.000-Rp4.000 per kilogram. “Karena harganya anjlok, saya lebih pilih tahan jagung saja dari pada jual rugi,” ujarnya.
Ia memilih tak menjual jagung dulu karena akan merugi. Wawan dan keluarga mencoba bertahan dulu. Ia juga memiliki tempat penyimpanan yang cukup luas di halaman rumahnya. “Saya keringkan dulu jagung ini, agar harga jualnya tinggi nanti,” tutupnya. (ils)