KEPALA Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi menyatakan bahwa aspek perlindungan sosial di NTB yang masih perlu mendapat perhatian serius. Sebab dari 595 ribu pekerja formal, hanya sekitar 60 persen yang telah terlindungi oleh jaminan sosial.
Kondisi lebih memprihatinkan terlihat pada pekerja mandiri atau pekerja rentan, di mana dari 1 juta orang, hanya sekitar 16 persen saja yang sudah terlindungi. Karenanya, Disnakertrans dan seluruh stakeholder terkait perlu berinovasi dan mencari cara untuk terus bisa meningkatkan perlindungan sosial bagi pekerja di Provinsi NTB, terutama pekerja rentan atau pekerja informal.
“Cakupan perlindungan sosial bagi pekerja formal dan informal harus segera ditingkatkan. Ketiadaan perlindungan sosial merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya masalah turunan lainnya, termasuk kemiskinan ekstrem,” kata I Gede Putu Aryadi dalam kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi Petani dan Buruh Tani Tembakau Melalui Anggaran DBH CHT yang berlangsung akhir pekan kemarin.
Aryadi mengatakan, dalam upaya meningkatkan cakupan perlindungan sosial, Disnakertrans NTB bersama dengan DPRD Provinsi NTB saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Ketenagakerjaan, yang salah satu pasalnya mengatur perlindungan sosial bagi pekerja informal atau pekerja rentan.
“Untuk pekerja formal, aturannya sudah jelas, dan pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan. Namun, untuk pekerja informal, aturannya belum ada. Oleh karena itu, Raperda ini merupakan bukti kehadiran pemerintah dalam menciptakan keadilan melalui regulasi yang jelas dan sah,” ungkapnya.
Aryadi juga mengungkapkan bahwa tiga tahun lalu, Disnakertrans NTB telah menyurati Kementerian Keuangan RI untuk mengusulkan agar dana DBH CHT dapat dialokasikan bagi pekerja rentan yang belum terlindungi jaminan sosialnya. Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) sudah sejak 10 tahun lalu mengusulkan hal ini, dan pada tahun 2022 setelah Disnakertrans Provinsi NTB bersurat, usulan ini akhirnya disetujui oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini bahkan dijadikan percontohan dan sudah diujicobakan di 35 daerah.
“Usulan ini telah direspons Kementerian pada tahun 2022, dan pada tahun ini akan diakomodasi dalam perubahan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) yang akan mengatur dengan lebih jelas bahwa sebagian dari DBH CHT dapat dialokasikan untuk pembayaran perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja penerima upah,” tuturnya.
Aryadi menyinggung tentang perlindungan sosial bagi petugas penyelenggara Pemilu yang juga dikategorikan sebagai pekerja rentan. Dalam Tahun Pemilu ini, Presiden telah menginstruksikan agar jaminan sosial ketenagakerjaan diberikan kepada para penyelenggara Pemilu. KPU telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah terkait hal ini.
“Kita perlu memvalidasi data dengan benar agar para petugas penyelenggara Pemilu dapat menerima perlindungan yang sesuai dengan hak mereka. Pekerjaan mereka meski bersifat sementara tapi memiliki risiko tinggi sehingga perlu ada jaminan perlindungan yang tepat,” tegas Aryadi.
Selain memberikan perlindungan sosial bagi pekerja rentan, Aryadi juga menyebutkan bahwa pemerintah juga mengupayakan perlindungan sosial bagi pekerja AKAD (Antar Kerja Antar Daerah) dan AKAN (Antar Kerja Antar Negara) sudah mendapat perlindungan jaminan sosial dari sebelum berangkat. Sehingga jika terjadi sesuatu di kota atau negara setempat bisa langsung diklaim ke perusahaan.
“Jika sebelumnya perlindungan hanya diberikan setelah pekerja tiba di lokasi tujuan, kini kita minta agar pembayaran dilakukan sebelum mereka berangkat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pekerja benar-benar terlindungi, karena ada kekhawatiran jika sudah sampai, pembayaran tidak dilakukan,” ujarnya.(ris)