Oleh : Mursidin, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. Jawa Timur.

Nama Mandalika kini menjadi ikon baru pariwisata Indonesia. Kawasan yang dahulu dikenal karena pantai dan legenda Putri Mandalika, kini menjelma menjadi simbol modernitas, kemajuan, dan kebanggaan masyarakat NTB. Ajang MotoGP, World Superbike, serta berbagai konser dan festival internasional telah mengubah wajah Lombok menjadi lebih hidup, dinamis, dan dikenal dunia. Namun, seperti panggung besar yang tampak gemerlap, selalu ada realitas dibalik layar yang perlu kita perhatikan dengan lebih jernih. Tidak ada yang menyangkal bahwa Mandalika membawa banyak perubahan positif. Jalan-jalan baru membuka akses, hotel-hotel tumbuh, UMKM bermunculan, dan geliat ekonomi terasa hingga ke berbagai kecamatan sekitarnya. Namun pertanyaan pentingnya adalah: apakah semua lapisan masyarakat merasakan dampak yang sama? Disatu sisi, ada warga yang bisnisnya meningkat drastis saat event internasional berlangsung. Tetapi di sisi lain, ada pedagang kecil yang kembali sepi setelah keramaian itu hilang. Ada pemuda yang berhasil bekerja di sektor pariwisata, namun tidak sedikit yang belum memiliki keahlian yang diperlukan untuk memasuki industri tersebut.
Pembangunan fisik Mandalika bergerak sangat cepat, tetapi pembangunan sumber daya manusia sering berjalan lebih lambat. Perubahan sosial yang terjadi menuntut adaptasi besar-besaran bagi masyarakat lingkar kawasan. Profesi berubah, kebiasaan baru muncul, dan ritme hidup tidak lagi sama seperti dulu. Dari petani menjadi pedagang, dari nelayan menjadi pekerja hotel transisi ini memerlukan dukungan pelatihan, bimbingan, dan kesempatan yang jelas. Masyarakat lokal seharusnya menjadi subjek utama pembangunan, bukan sekadar penonton yang mengamati dari jauh. Di tengah euforia pembangunan, isu lingkungan juga mulai mencuat. Keindahan alam Mandalika adalah alasan utama orang datang, tetapi tekanan ekologis semakin terasa. Sampah plastik di pantai, polusi suara, dan beberapa titik pesisir yang mulai rusak menjadi tanda bahwa pengelolaan lingkungan harus menjadi prioritas. Jika tidak dijaga, keunggulan alam yang menjadi “ruh” Mandalika justru bisa hilang. Daerah ini harus belajar dari destinasi lain yang sempat viral, tetapi kemudian ditinggalkan karena tidak mampu menjaga kelestarian lingkungannya. Selain masalah lingkungan, kita juga perlu memperhatikan identitas budaya Sasak sebagai dasar karakter Mandalika.
Keunikan Mandalika bukan hanya pada sirkuit megah atau event internasionalnya, tetapi pada nilai-nilai lokal yang hidup di masyarakat: tenun, seni tradisi, musik, kuliner, dan keramahan yang selama ini menjadi daya tarik wisata. Mandalika akan kehilangan jati dirinya jika tidak memberi ruang yang cukup bagi para pelaku budaya lokal. Event internasional memang penting, tetapi budaya lokal adalah kekuatan jangka panjang yang tidak boleh terpinggirkan. Dengan segala potensi dan tantangannya, Mandalika sebenarnya memiliki peluang luar biasa untuk menjadi model pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Namun, momentum ini harus dikelola dengan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, lingkungan, dan kearifan lokal. Program pelatihan kerja, akses permodalan UMKM, ruang usaha untuk warga lokal, serta tata kelola lingkungan harus diperkuat. Pemerintah daerah, pengelola KEK, investor, dan masyarakat perlu bergerak bersama agar Mandalika tidak hanya maju secara fisik, tetapi juga maju secara sosial.
Penutup: Mandalika memang telah menjadi etalase baru pariwisata Indonesia, tetapi keberhasilan sejati bukan diukur dari sorotan kamera, melainkan dari sejauh mana masyarakat lokal merasakan manfaatnya dan lingkungan tetap terjaga. Mandalika harus menjadi model pembangunan yang adil dan berkelanjutan, bukan sekadar panggung sementara yang ditinggalkan setelah lampu mati. Ini momentum penting bagi pemerintah daerah, investor, dan masyarakat untuk bekerja bersama membangun Mandalika yang inklusif, manusiawi, dan bermartabat. Mandalika bukan hanya destinasi wisata ia adalah masa depan NTB. Cahaya panggungnya sudah terang, tetapi isinya masih perlu kita perkuat. Jika pembangunan dilakukan dengan bijak, adil, dan ramah lingkungan, maka Mandalika akan menjadi contoh sukses pembangunan daerah berbasis pariwisata. Namun jika tidak, ia berisiko menjadi proyek yang megah di luar, tetapi rapuh di dalam.
Harapan kita sederhana: Mandalika tumbuh tanpa meninggalkan siapa pun. Dan ketika Mandalika tumbuh menjadi destinasi kelas dunia, masyarakat Lombok dan NTB-lah yang harus berdiri di baris terdepan sebagai pemilik masa depan itu. (*)









