26.5 C
Mataram
BerandaEkonomiTravel Umrah di NTB “Galau”, Setelah Pemerintah Bolehkan Umrah Mandiri

Travel Umrah di NTB “Galau”, Setelah Pemerintah Bolehkan Umrah Mandiri

Lombok (ekbisntb.com) – Pemerintah dan DPR RI resmi mengesahkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Dalam beleid baru tersebut, pasal 86 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa ibadah umrah kini bisa dilakukan secara mandiri, tanpa harus melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).

Kebijakan baru ini sontak menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha penyelenggara umrah di daerah, termasuk di NTB. Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) Wilayah Bali Nusra, H. Zamroni, menyebut para pengusaha PPIU menanti kejelasan pelaksanaan aturan tersebut.

- Iklan -

“Saya kemarin sempat WA ke Kanwil Kemenag NTB terkait itu. Saya tanya bagaimana prosesnya, apakah benar umrah boleh dilakukan secara mandiri? Dijawab bahwa umrah mandiri bisa dilakukan, tapi tetap harus melalui penyelenggara layanan atau kementerian. Nah, ini yang membuat kita bingung, apakah nanti Kementerian Haji yang akan mengurus langsung umrah?” ujar Zamroni.

Ia menegaskan, jika Kementerian Haji memang akan mengelola secara langsung, maka lembaga itu tidak lagi berfungsi sebagai regulator, melainkan operator. Hingga kini, kata Zamroni, Kanwil Kemenag NTB belum bisa memberikan penjelasan lebih lanjut terkait mekanisme umrah mandiri tersebut.

“Dari semua praktisi umrah, sebenarnya banyak yang sudah menjalankan umrah mandiri tanpa izin resmi, dan mereka justru sudah berkibar. Disisi lain, kebijakan baru ini jelas menjadi ancaman bagi kami pelaku usaha resmi. Tapi kami masih menunggu penjelasan dari Kementerian, karena informasi turunan peraturan teknisnya belum ada,” katanya.

Menurut Zamroni, praktik umrah mandiri menurut informasi yang didapat, masih tetap melibatkan layanan travel untuk pengurusan visa, hotel, dan akomodasi. Ia juga mengingatkan, pemerintah perlu berhati-hati karena umrah mandiri juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan.

“Banyak yang umrah mandiri kemudian overstay dan mencari kerja di sana, karena tidak melalui travel resmi. Beda halnya kalau pemberangkatkan dari travel, kalau ada jemaah kami tidak kembali, travel bisa kena denda. Kami ini mitra Kementerian, jadi kami punya tanggung jawab. Kalau bebas seperti ini (umrah mandiri), ya kami juga akan bebas menjual paket umrah tanpa ketentuan yang mengikat,” ujarnya.

Zamroni menilai, kebijakan umrah mandiri ini kurang adil bagi pelaku usaha resmi yang telah berinvestasi besar untuk memenuhi syarat perizinan.

Menurutnya, pemerintah seharusnya memikirkan PPIU yang jumlahnya sekitar 3.000 di Indonesia.

“Kami sudah mengeluarkan biaya besar untuk izin resmi: mendirikan PT, menyediakan bank garansi Rp100 juta selama enam tahun, memiliki kantor, karyawan, dan ikut menggerakkan ekonomi masyarakat lewat penjualan koper serta perlengkapan umrah,” paparnya.

Dengan umrah mandiri, maka tidak ada lagi Jemaah yang membeli perlengkapan seperti pakaian seragam, koper, dan lainnya. Jemaah akan bebas saja menggunakan atribut apapun, tanpa harus menggunakan atribut yang selama ini menjadi ciri khas Jemaah umrah. Dan atribut-atribut itu diproduksi oleh UMKM.

Ia juga menyoroti inkonsistensi aturan yang tercantum dalam undang-undang sebelumnya. “Dalam UU sebelumnya disebutkan, siapa pun yang melakukan jual beli dan mengajak orang berumrah tanpa izin resmi akan didenda Rp6 miliar. Lalu, apa maksud dari kebijakan umrah mandiri ini?” tanyanya.

Zamroni menegaskan, kebijakan baru ini sangat mengkhawatirkan bagi pengusaha travel umrah resmi. Ia meminta pemerintah memberikan keadilan dan perlakuan setara.

“Kami hanya minta keadilan. Kalau pemerintah memperbolehkan umrah mandiri, maka kewajiban kami sebagai travel resmi juga sebaiknya dihapus. Kalau yang lain bebas, kami pun ingin bebas,” pungkasnya.(bul)

Artikel Yang Relevan

Iklan












Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut