Lombok (ekbisntb.com) – Potensi pendapatan daerah dari sektor kelautan dan perikanan mengalami penurunan drastis dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini semakin diperparah dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 pengganti dari PP 5 Tahun 2021 tentang perizinan berusaha berbasis risiko.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, Muslim mengatakan jika di tahun 2019 pendapatan dari retribusi sektor ini sempat menembus angka Rp4 miliar per tahun, kini jumlah tersebut merosot tajam hingga hanya mencapai Rp1 miliar. Dengan adanya perubahan PP, Muslim mengaku khawatir retribusi dari sektor kelautan akan semakin anjlok.

“Jadi sekarang yang dulu misalnya pengusaha tambak udang yang butuh air laut izinnya di Provinsi, sekarang izinnya di Pemerintah Pusat,” jelasnya, Rabu, 23 Juli 2025.
Dalam aturan terbaru tersebut, perizinan yang sebelumnya menjadi kewenangan provinsi, seperti izin pemanfaatan air laut oleh pengusaha tambak udang, kini dialihkan ke pemerintah pusat.
Selain itu, kewenangan daerah dalam penerbitan izin kapal penangkap ikan di bawah 12 mil laut juga terancam ditarik ke pusat, yang nantinya akan dipungut sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Ini beberapa regulasi yang membuat daerah itu yang seharusnya memiliki nilai tambah terhdadap sumber ddaya yang dimilikinya tapi justru lebih aktif ini pusat yang mengambil pendapatan di daerah menjadi kewenangan daerah,” jelasnya.
Dalam menghadapi keterbatasan kewenangan, Pemprov NTB kini mengandalkan BLUD sebagai unsur untuk mengelola potensi pendapatan di sektor kelautan, terutama di kawasan konservasi laut.
Muslim mengatakan, meski baru setahun beroperasi dengan dana awal yang kurang dari Rp150 juta per tahun, tiga BLUD yang aktif saat ini justru telah berhasil menghasilkan pendapatan lebih dari Rp400 juta hingga Juni 2025.
“Artinya potensi pendapatan ya kan terus muncul. Tujuan kegiatan kita hari ini adalah untuk memastikan mereka lebih pro aktif lagi dan memaksimalkan potensi yang ada, menggerakkan semua potensi resours sumber daya yang dimiliki untuk optimalkan pendapatan,” tambahnya.
Menurutnya, satu kapal pesiar asing saja bisa dikenakan tarif jasa labuh hingga Rp1 juta per hari. Jika dikelola dengan baik, potensi pendapatan ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi kas daerah.
Lebih lanjut, penerapan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga dinilai telah membatasi kemampuan daerah untuk memungut retribusi dari sektor usaha dan perizinan tertentu. Hal ini semakin memperburuk fiskal daerah, apalagi di tengah keterbatasan fiskal seperti sekarang.
“Harusnya di tengah kondisi fiskal daerah yang terbatas, pemerintah pusat mendorong untuk kemandirian daerah itu memanfaatkan sumber daya alam di wilayah kewenangannya, tapi yang terjadi justru terbalik,” terangnya.
Plt Kepala Biro Perekonomian Setda NTB ini berharap, BLUD yang sudah berjalan jangan sampai dilikuidasi atau digabung dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lain, karena keberadaannya menjadi tumpuan harapan baru bagi optimalisasi pendapatan asli daerah dari sektor kelautan.
“Tetapi itulah kenapa kita menggunakan BLUD ini sebagai salah satu instrumennya dalam mengoptimalkan pendapatan daerah. Kita berharap BLUD jangan dilikuidasi,” pungkasnya. (era)