Jakarta (ekbisntb.com) – Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto berasumsi penguatan nilai tukar (kurs) rupiah karena ketidakjelasan prospek ekonomi Amerika Serikat (AS)
“Saya rasa kenaikan ini memang karena faktor global, dimana dolar cenderung melemah karena ketidakjelasan prospek ekonomi AS. Hari masih dipengaruhi oleh kondisi global, dimana DXY (indeks dolar AS) masih berada di bawah level 100,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

Mengutip Xinhua, menyebutkan bahwa para ekonom telah memperingatkan risiko resesi bagi perekonomian AS di tengah peningkatan utang pemerintah, prospek pertumbuhan yang suram, dan sentimen konsumen yang lemah.
Perkiraan AS mengalami resesi berada pada kisaran 45-50 persen, yang berarti tingkat risiko tersebut masih tinggi. Meski belum mengalami resesi, AS dinilai telah mengalami perlambatan pertumbuhan yang signifikan.
Seperti diketahui, penurunan peringkat utang pemerintah AS dari Aaa menjadi Aa1 oleh Moody’s akan meningkatkan tekanan ekonomi AS yang tengah menghadapi risiko resesi di tengah peningkatan tarif dan ekspektasi inflasi.
Moody’s menjadikan utang pemerintah dan pembayaran bunga AS sebagai alasan penurunan peringkat tersebut. Pemerintah dan Kongres AS dinilai gagal dalam meringankan tren defisit fiskal tahunan yang besar dan kenaikan biaya bunga.
Moody’s memperkirakan defisit federal AS akan melebar hingga hampir 9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2035, naik dari 6,4 persen pada tahun 2024. Adapun beban utang federal akan meningkat menjadi sekitar 134 persen dari PDB pada tahun 2035, dibandingkan dengan 98 persen pada tahun 2024.
Kekhawatiran atas kondisi fiskal itu semakin membuat prospek ekonomi jangka panjang negara tersebut menjadi kabur.
Federal Reserve Bank of Philadelphia mengungkapkan prospek ekonomi AS tampak lebih suram saat ini dibandingkan tiga bulan lalu. Menurut 36 peramal yang disurvei oleh bank tersebut, mereka mengira ekonomi AS akan tumbuh pada tingkat 1,4 persen pada tahun 2025, turun tajam dari perkiraan pertumbuhan 2,4 persen sebelum perang dagang berkobar.
MarketWatch menilai, angka tersebut merupakan kemungkinan pencapaian paling lambat dalam 16 tahun jika era pandemi COVID-19 terjadi.
“Tren ini (penguatan rupiah) mungkin masih bisa berlanjut dalam jangka pendek. Namun jangka panjang, rupiah secara fundamental, masih cukup berisiko, dengan potensi pelemahan ekspor dan defisit transaksi berjalan yang signifikan pada kuartal II-2025,” ungkap Rully.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Kamis pagi di Jakarta menguat sebesar 67 poin atau 0,41 persen menjadi Rp16.332 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.399 per dolar AS. (ant)