Lombok (ekbisntb.com) – Sejumlah hotel di Kota Mataram, NTB mengaku cukup berat setelah menerima surat tagihan royalti musik dari pihak terkait. Nilai tagihan bervariasi, mulai Rp2 jutaan hingga lebih dari Rp4,4 juta per tahun, tergantung jumlah kamar yang dimiliki hotel.

Sekretaris Asosiasi Hotel Mataram (AHM) yang juga General Manager Hotel Grand Madani, Rega Fajar Firdaus, mengungkapkan bahwa beberapa hotel bahkan sudah menerima somasi karena dianggap tidak membayar royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Beberapa hotel lainnya sudah ada yang melunasi tagihan tersebut.

“Kami dari AHM memang betul sudah disurati berupa tagihan, bahkan ada teman kami juga sudah disomasi. Alasannya mungkin karena tidak mau membayar, walaupun sebagian hotel ada yang sudah sanggup membayar,” kata Rega kepada Ekbis NTB Rabu 13 Agustus 2025.
Menurut Rega, besaran tagihan untuk hotel didasarkan pada klasifikasi jumlah kamar. Hotel dengan jumlah kamar di bawah 50 unit dikenakan royalti Rp2 juta per tahun, sedangkan hotel dengan 51–100 kamar membayar Rp4 juta plus PPN 9 persen. Hotel dengan jumlah kamar lebih banyak dikenakan tarif lebih tinggi.
“Tagihan hotel saya keluar akhir Juli sebesar Rp4 jutaan plus PPN setahun. Sistemnya akan menagih lagi tahun depan di bulan yang sama,” jelasnya.
Ia menilai metode perhitungan royalti masih bermasalah. Royalti dikenakan untuk setiap instrumen atau perangkat yang bisa mengeluarkan musik, termasuk TV di kamar hotel. Bahkan, hotel yang tidak memiliki TV di semua kamar tetap mendapat tagihan.
“Dia menganggap setiap kamar ada TV dan TV itu bisa mengeluarkan musik yang mengandung hak cipta. Ada hotel yang tidak ada TV, tapi tetap dikirimi tagihan. Inilah yang jadi pro-kontra,” tegasnya.
Bahkan, lanjut Rega, hotel berbasis syariah yang hanya memutar murotal atau musik religi tetap dikenakan royalti. “Kemarin viral suara burung dari YouTube pun kena. Jadi dia melihat objek suara, tidak peduli siapa penyanyinya,” tambahnya.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih, kewajiban membayar royalti ini dinilai membebani pelaku usaha perhotelan. Terlebih, banyak hotel skala kecil yang tagihannya sama dengan hotel kelas menengah.
“Aturannya tidak dihitung berdasarkan grade, tapi jumlah kamar. Padahal ada hotel bintang bawah dengan jumlah kamar lebih banyak, tapi secara pendapatan tidak sebanding dengan hotel bintang tinggi,” ujarnya.
Rega menyebut aturan pembayaran royalti musik ini sudah diatur dalam undang-undang tahun 2021, namun sosialisasinya dirasa belum maksimal. “Kenapa baru gencar Agustus ini? Ini yang jadi pertanyaan kami,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti ancaman sanksi yang dinilai terlalu berat. Jika menolak membayar royalti, pelaku usaha terancam pidana 10 tahun penjara atau denda hingga Rp4 miliar.(ris)