Sejumlah kebutuhan tengah mengalami penurunan harga dalam beberapa bulan terakhir. Penurunan harga atau deflasi dalam jangka lama menandakan ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Ekonom bahkan menyebut, merosotnya harga dapat menyebabkan produksi barang menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan semangat petani menanam semakin melorot dan dikhawatirkan akan terjadi efisiensi tenaga kerja (PHK).
‘’LEBIH baik membiarkan di pohon atau di lahan daripada harus dipanen,’’ ujar Nasir, salah satu petani dari Lombok Timur pada Ekbis NTB, Jumat, 10 Oktober 2024.
Apa yang dilakukan ini sangat beralasan, karena biaya yang dibutuhkan untuk panen lebih besar daripada harus membiarkan hasil panen membusuk di pohonnya. Dicontohkannya, ketika harus panen cabai menggunakan pekerja di saat jatuh lebih besar biaya untuk pekerja daripada harga cabai kalau dijual di pasaran.
Begitu juga saat menanam tomat dan harganya sedang jatuh, maka membiarkan buah tomat membusuk di pohonnya adalah pilihan terbaik. ‘’Daripada merugi semakin besar, biarkan saja di pohonnya. Soalnya kalau dipanen, butuh biaya lagi membayar pekerja untuk per kilonya. Terkadang kita harus membayar Rp2.000 per kilogram ketika harus memetik cabai di pohonnya,’’ tambahnya.
Harga Komoditas pertanian selama beberapa bulan terakhir ini yang lebih sering merosot menyebabkan semangat cocok tanam petani menjadi melorot. Pasalnya, setiap komoditi yang ditanam, selalu dihadapkan pada persoalan harga yang kurang berpihak pada petani.
Amaq Rozi, salah satu petani di Subak Lendang Mudung Kecamatan Pringgabaya, menilai musim ini menjadi musim yang kurang menguntungkan bagi petani. Petani ahli bawang merah ini menilai, dulu harga bawang merah menjadi andalan di tempatnya. Namun kini, ia hanya bisa pasrah.
Produksi bawang merah yang dihasilkan musim ini dihadapkan pada harga yang kurang menyenangkan. Hanya Rp 600 ribu per kuintal basah. Dari hitungan biaya produksi, harga ini dianggap tidaklah menguntungkan. Setidaknya harganya Rp 1 juta per kuintal baru petani sedikit tersenyum.
Parahnya lagi, saat harga murah ini proses penjualan pun kerap tersendat. Menurut para pengecer bawang merah sayur ini di pasar, minat belanja orang juga mengalami penurunan drastis.
Rendahnya minat baca ini terasa sekali bagi petani. Perputaran ekonomi di desa yang mengandalkan hasil penjualan komoditas pertanian pun jelas ikut tersendat-sendat.
Istilah deflasi yang disebut-sebut para ahli ekonomi turut mengkhawatirkan bagi petani. Pasalnya, budidaya pertanian saat ini semakin mahal. Mulai harga bibit hingga obat-obatan yang dibutuhkan tidak pernah mengenal istilah turun harga. Sebaliknya mengalami kenaikan terus. Fakta itu jelas membuat petani cukup pusing.
Petani ini turut menduga, kemungkinan besar situasi ini terjadi karena masa transisi kepemimpinan tertinggi di negeri ini. Akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo dan akan digantikan Presiden Prabowo Subianto ini dinilai terasa sampai di bawah akibat buruk ekonomi yang ditimbulkan. Harapannya, saat presiden terpilih resmi memerintah, ekonomi petani bisa lebih bergairah. Apalagi Prabowo Subianto dikenal sebagai sosok petani. Kebijakannya pun diminta banyak berpihak pada perbaikan ekonomi para petani.
Menurut Amaq Rozi, pemerintah harus memperbaiki kualitas kebijakannya. Pertama, ketika harga anjlok pemerintah diharapkan tetap hadir. Pemerintah jangan hanya intervensi saat harga mahal lalu ramai-ramai mengajak petani melakukan operasi pasar. Tapi saat harga anjlok, pemerintah seperti hilang tidak tahu kemana.
Selalu jadi alasan ketika produksi melimpah, harga pasti rendah. Hukum pasar tersebut sudah dipahami faktanya oleh petani. Akan tetapi, pemerintah sebagai penentu kebijakan diminta lebih berpihak dengan tidak membuat sejuta alasan yang menyakitkan petani. Informasi mengenai upaya menjaga keseimbangan antara produksi dengan permintaan pasar harus tetap dihadirkan ke tengah petani. Para penyuluh diminta tetap sedia di tengah petani. Berikan jadwal tanam dan pilihan komoditi apa yang bisa tanam setiap musimnya yang sesuai dengan permintaan pasar.
Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Lotim, Mahsin menyampaikan pemerintah terus berusaha untuk menjaga stabilitas harga semua komoditas. Utamanya komoditas pertanian. Sebagian besar produksi komoditi pertanian ini bisa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Lotim diketahui merupakan daerah yang menjadi incaran pasar dari semua produsen. Komoditi yang diproduksi di dalam daerah diupayakan bisa laku keras di dalam daerah sendiri dan tanpa perlu mendatangkan dari luar daerah. Seperti tomat beberapa waktu lalu murni anjlok karena masalah over produksi. Karena dipastikan, tidak ada tomat dari luar daerah yang perlu dikhawatirkan menjadi pesaing.
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Lombok Timur merespons cepat upaya stabilisasi harga. Pemkab Lotim beberapa waktu lalu menggencarkan Siilaturahmi dan Lotim Berkemajuan (Sultan) dengan mendatang pedagang di pasar dengan memberikan diberi edukasi tentang informasi harga guna mencegah fluktuasi harga yang berlebihan. Hadapannya, masyarakat tidak terlalu terbebani dengan harga beli dan petani tidak terlalu merugi dengan harga jual. Dinas Perdagangan Lotim berkomitmen untuk terus mengawasi perkembangan harga di pasar.
Hal senada juga disampaikan Jawariah, salah satu pedagang di Pasar Pohgading, Lotim. Menurutnya, tidak ada masalah dengan harga komoditas saat ini. Hanya saja, yang menjadi masalah bagi pedagang adalah kecilnya daya beli masyarakat, sehingga berakibat pada pembusukan komoditas dan merugikan pedagang.
“Kalau untung dari harga barang kita dapat. Tapi, yang buat rugi itu kalau barang nggak laku, di situ kita kalah,” ungkapnya.
Sementara itu, terdapat perbedaan harga antara pedagang di pasar Pohgading. Yang mana salah satu pedagang, Dariah mengatakan ia menjual cabai merah dengan harga Rp25 ribu per kilogram. Menurutnya, harga ini masih normal, tidak ada lonjakan dan penurunan harga secara signifikan.
Harga berbeda dari cabai merah keriting, yang mana harga bapok ini mengalami penurunan. Mulanya, harga cabai merah keriting berada di angka Rp20 ribu per kilogram, sekarang, harga bapok ini dijual dengan harga Rp12 ribu per kilogram.
“Cabai merah keriting kemarin sempat naik. Tapi sekarang malah turun cukup jauh. Jadi cuma Rp12 ribu per kilonya,” katanya.
Menurut Dariah, fluktuasi harga ini tidak begitu mengganggu, karena, sebagai pedagang harus siap menerima risiko fenomena naik turun harga barang. “Namanya juga pasar, orang berbelanja juga kan ada yang rewel, ada yang enggak. Jadi begitu kita menyikapinya,” ujarnya.
Berdasarkan penuturannya, Maulid kemarin menyebabkan harga beberapa bapok mengalami sedikit kenaikan. Namun, seminggu setelah berakhirnya bulan lahir Nabi Muhammad ini, harga bapok kembali normal, bahkan cenderung turun.
Sementara harga cabai rawit merah masuk dalam kategori normal meski mengalami sedikit kenaikan, yang mana harga komoditas tersebut berada di angka Rp30 ribu per kilogram. Menurutnya, harga normal cabai rawit berada di angka Rp25-28 ribu, sehingga harga sekarang mengalami kenaikan Rp2 ribu.
“Cabai merah sekarang Rp30 ribu. Memang harganya berkisar segini sekarang. Tapi biasanya harga cabai antara Rp25 ribu sampai Rp28 ribu,” katanya.
Begitu juga dengan beberapa bapok lain seperti tomat, dan bawang putih. Harga komoditas ini masih dalam kategori normal. Yang mana harga tomat dijual Rp8 ribu per kilogram, dan bawang putih dijual dengan harga Rp40 ribu per kilogram. “Bawang putih kita belinya Rp36 ribu per kilogram. Jadi, kita jual seperempatnya itu Rp10 ribu,” ujarnya.
Sementara pedagang sembako, Hasanah di Pasar Pagesangan, Kota Mataram, mengeluhkan lonjakan harga beras yang semakin membebani pedagang dan pembeli.
“Melonjak harganya. Kalau kita beli, beras C4 sekarang harganya Rp340 ribu, dan beras Tanjung kemarin naik jadi Rp350 ribu,” ungkapnya
Meski demikian, Hasanah mengakui kenaikan harga tersebut belum terlalu memengaruhi penjualannya. “Ndak sih, karena dicampur sama beras SPHP, jadi masih bisa dijual,” tambahnya.
Sebelum kenaikan, ia menjual beras seharga Rp14.000 per kilogram, namun kini harus menaikkan harga menjadi Rp14.500. “Biar pelanggan tidak kabur, saya jual Rp14.500, padahal ada yang jual sampai Rp15.000,” ungkapnya.
Seorang pembeli, Abdullah, warga Bebidas Pagesangan mengaku mau tidak mau harus membeli beras, meski dengan harga mahal. “Sebenernya kalau dibilang mahal, ya mahal. Tapi beras ini kebutuhan pokok. Mau tidak mau, kita tetap beli,’’ ujarnya pendek.
Abdullah juga berharap agar pemerintah, dapat mengendalikan harga. Kenaikan harga ini lebih terasa bagi masyarakat kecil yang pendapatannya terbatas. (rus/era)