Lombok (ekbisntb.com) – Polemik royalti musik yang belakangan menjadi perbincangan publik seharusnya tidak hanya dipandang dari sisi beban atau dampak negatifnya. Sebab aturan royalti justru bisa menjadi peluang untuk menggerakkan potensi musisi lokal agar lebih berdaya

Hal ini diungkapkan Staf Ahli Bidang Sosial Kemasyarakatan Gubernur NTB Dr. Ahsanul Khalik saat dimintai tanggapannya, Selasa 12 Agustus 2025. Menurutnya, pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif, bersama pelaku usaha hiburan seperti hotel, restoran, dan kafe, dapat mengambil langkah kreatif dengan memanfaatkan karya cipta musisi daerah sendiri.

“Kalau lagunya adalah karya asli musisi lokal dan belum dilisensikan ke Lembaga Manajemen Kolektif, izin penggunaannya bisa diberikan langsung kepada pelaku usaha hiburan. Kesepakatan ini bisa gratis atau berbayar, dan tidak mewajibkan pembayaran royalti melalui LMK/LMKN. Artinya, royalti atau imbalan bisa diterima langsung oleh musisi lokal,” jelasnya.
Ia merujuk pada UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang memberi hak eksklusif kepada pencipta lagu untuk mengizinkan penggunaan karyanya. Dengan memanfaatkan ketentuan ini, pelaku usaha hiburan dapat memperoleh karya yang khas dan legal, sementara musisi lokal mendapatkan panggung dan pendapatan.
“Model ini membawa banyak manfaat. Musisi lokal bisa lebih berdaya, pelaku usaha mendapatkan identitas musik yang khas, dan masyarakat ikut menikmati karya yang lahir dari bumi mereka sendiri. Ini sekaligus mengurangi ketergantungan pada lagu-lagu nasional yang membebani pelaku usaha dengan kewajiban royalti besar,” tambahnya.
Ahsanul Khalik menegaskan pentingnya mengubah cara pandang terhadap aturan ini. “Sudah saatnya kita melihatnya sebagai peluang, bukan sekadar hambatan. Dengan kolaborasi antara musisi lokal dan pelaku usaha hiburan, kita bisa membangun ekosistem kreatif yang sehat, menumbuhkan kebanggaan daerah, dan memastikan musik lokal menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri,” tutupnya.
Untuk diketahui pembayaran royalti penggunaan musik komersial ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN adalah badan non-APBN yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menarik, menghimpun, dan menyalurkan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait atas penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial.
Melalui PP 56/2021, setiap penggunaan lagu dan musik untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti kepada LMKN. Hal ini mencakup berbagai sektor, mulai dari restoran, kafe, hotel, karaoke, konser, bioskop, seminar, hingga penggunaan di transportasi umum, lembaga penyiaran, dan nada tunggu telepon. Namun kebijakan ini menjadi polemik karena dinilai masih membingungkan pelaku usaha.(ris)