Oleh Prof. Markum
(Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Mataram)

Perguruan Tinggi sudah 55 tahun menerapkan program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Spirit penerapan KKN pada awalnya untuk mendukung penerapan teknologi Panca Usaha Tani, mewujudkan swasembada pangan tahun 1970-an. KKN saat itu dinilai berhasil karena tema yang diusung sesuai dengan konteks zamannya. Saat ini kondisi zaman sudah banyak berubah dalam banyak hal, jauh berbeda dengan masa lalu. Pertanyaannya, apakah KKN masih dibutuhkan oleh masyarakat saat ini?
Saat itu, tahun 1969-an, pemerintahan Orde Baru (Era Presiden Soeharto) mencanangkan program Bimas-Inmas, sebuah program untuk meningkatkan produksi padi melalui penerapan Panca Usaha Tani. Dalam mendukung gerakan ini, IPB dan UGM andil dan mengerahkan mahasiswanya ke berbagai pelosok desa.
Hasilnya, kehadiran mahasiswa di desa dinilai positip dan telah berhasil membantu petani menerapkan teknologi Panca Usaha Tani tersebut. Keberhasilan ini kemudian mendorong pemerintah melembagakan KKN menjadi program nasional untuk diterapkan oleh Perguruan Tinggi di Indonesia (Ditjen Dikti, 1971).
Mengapa program KKN di awal 1970-an dinilai berhasil ?. Saya mencoba searching informasi situasi di era 1970-an. Pada saat itu, angka buta huruf di Indonesia sekitar 21 %, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan mencapai 60 %, jumlah mahasiswa hanya sekitar 3 %, sarana jalan dan transporasi pedesaan masih jarang, media dan akses informasi sangat terbatas.
Maka kehadiran mahasiswa, tidak pelak menjadi sumber perhatian dan informasi sentral di pedesaan. Mahasiswa sangat krusial perannya menjembatani informasi baru dengan kebutuhan praktis masyarakat saat itu terutama terkait dengan penerapan teknologi pertanian.
Saat ini kita sudah setengah abad lebih menerapkan program KKN di Indonesia. Mengapa sampai sekarang kita masih bertahan dengan program KKN tersebut ? Apakah kita masih punya asumsi bahwa KKN yang kita terapkan saat ini punya tingkat keberhasilan yang sama dengan tahun 1970-an ?
Jika dibandingkan dulu (1970-2000-an) dengan kondisi saat ini, dimana saat ini sumber informasi begitu masif tersedia melalui berbagai platform media (google, youtube, dan lainnya), masyarakat pedesaan, bahkan yang kita sebut pelosok, kapanpun bisa akses informasi tentang banyak hal. Jumlah buta huruf sudah sangat sedikit (3 %), angka kemiskinan tinggal 9 %. Kemajuan teknologi saat ini sudah mendobrak ruang geografis desa-kota, perkembangan informasi telah menghapus distorsi akses komunikasi masyarakat maju-terbelakang.
Maka pertanyaannya adalah masih relevankah program KKN sekarang ini dan betulkah masyarakat masih membutuhkan program KKN saat ini ?
Ada baiknya menyimak dua catatan penting, hasil pencermatan saya selama menjadi pembimbing KKN kurang lebih 11 tahun. Pertama, umumnya aparat desa memiliki ekspektasi yang tinggi kepada mahasiswa, bahwa mahasiswa KKN diharapkan bisa memberikan bantuan untuk desa, terutama untuk sarana prasarana fisik; kedua, masyarakat juga berharap bahwa program yang diusung mahasiswa menyentuh kebutuhan riel mereka serta tidak mengulang program KKN sebelumnya.
Menjadi dilematis kemudian bagi mahasiswa, ketika apa yang diaharapkan oleh masyarakat tidak bisa dipenuhi, karena untuk mewujudkan itu tidak jarang memerlukan dukungan anggaran yang besar. Ketika harapan awal mereka tidak bisa dipenuhi oleh mahasiswa KKN, maka apa yang mereka programkan, dianggap tidak menjadi begitu penting lagi oleh desa.
Apakah aparat desa dan masyarakat kemudian menolak kehadiran KKN ? Tidak secara eksplisit, tetapi sikap yang ditunjukkan menjadi apatis terhadap KKN. Hal ini bisa dicermati misalnya aparat desa setengah hati menerima penyerahan KKN, masyarakat enggan menghadiri undangan pertemuan, serta kecil minat mereka untuk terlibat secara aktif pada pelaksanaan kegiatan KKN.
Dampaknya tentu saja bisa berimbas kepada psikologis mahasiswa. Mahasiswa menjadi tidak bersemangat melaksanakan kegiatan KKN. Satu sisi ada tuntutan mahasiswa menghasilkan keluaran KKN yang harus diselesaikan, di sisi lain animo masyarakat mengikuti kegiatan KKN rendah. Sejak awal kemudian batin mahasiswa dibenturkan dengan kondisi ketidaknyamanan.
Sikap apatis masyarakat, bagi saya sebenarnya merupakan dampak dari program KKN yang secara terus-menerus dilakukan dengan pola yang mirip, dan dalam waktu lama. Sementara dinamika zaman sudah banyak mengalami perubahan. Barangkali kita masih sering menganalogkan profil masyarakat desa, belum berubah sebagaimana seperti dulu yang kita anggap terisolir dalam perspektif geografi dan aspek lainnya. Sehingga kita meyakini apa yang kita lakukan dengan KKN punya peran strategis untuk masyarakat desa.
Kembali ke pertanyaan awal, “Betulkah masyarakat masih membutuhkan program KKN saat ini ?”
Saya tentu saja tidak menafikkan ada sisi baiknya program KKN selama ini, tetapi ada baiknya pihak universitas atau bahkan Kementerian mengadakan evaluasi menyeluruh terkait dengan program KKN ini. Apalagi baru saja ada kejadian korban tenggelam mahasiswa KKN di Maluku, kejadian kasus pelecehan mahasiswa, kejadian kecelakaan saat KKN, dan lainnya. Ini momentum yang tepat untuk dilakukan refleksi dan evaluasi.
Bagaimana kemungkinan hasilnya ? Tentu saja bisa ada beberapa opsi: apakah seyogyanya dihentikan saja program KKN digantikan dengan program lain; ataukah dilanjutkan dengan banyak modifikasi pembaharuan, ataukah menjadi sebuah program pilihan saja bagi mahasiswa, tidak menjadi kewajiban.
Perguruan Tinggi sudah terlalu lama menerapkan program KKN, kini sudah saatnya perlu ada pembaharuan.(*)