Lombok (ekbisntb.com) – Ketika dunia sedang ramai membicarakan kecerdasan buatan (AI), otomasi, dan bisnis digital yang kian menjamur, sebuah tren menarik justru muncul di kalangan para pemodal besar dunia. Para miliarder dan pengusaha papan atas global kini mulai kembali melirik sektor pertanian dan peternakan sebagai ladang investasi masa depan.
Ketua Jaringan Pengusaha Nasional (Japnas) NTB, I Made Agus Ariana mengatakan, tren peralihan para pengusaha besar ke sektor agro dan peternakan bukanlah tanpa alasan. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan otomasi, sektor pangan justru menjadi kebutuhan yang tak tergantikan.

“Dengan teknologi sekarang, bisnis apapun sekarang mudah diduplikasi orang lain. Mau jualan apa saja, semua orang punya peluang melakukannya. Tanpa harus memiliki modal besar bangun toko, cukup promosi lewat media sosial, live lewat media sosial untuk jualan. Kalau ada pesanan, tinggal transfer dan pengiriman barang tinggal lewat kurir. Jadi semua orang beramai ramai mengikuti tren bisnis melalui digital ini,” katanya.
Tapi komoditas pangan, seperti beras, kentang, buah, hingga daging, tetap dibutuhkan dan belum bisa digantikan oleh robot.
“Apa memproduksi beras, kentang, dan hasil pertanian lain bisa dilakukan oleh mesin digital, tidak bisa,” katanya.
Ia menyebutkan, pertumbuhan permintaan global akan komoditas pangan justru meningkat berkali-kali lipat. Hal ini sejalan dengan kekhawatiran dunia terhadap pasokan makanan yang makin menipis, sementara minat masyarakat untuk menjadi petani atau peternak kian menurun.
“Orang-orang lebih suka kerja kantoran yang dianggap keren, sementara jadi petani atau peternak dianggap tidak menarik. Semua main di bisnis digital, jualan lewat digital, promosi lewat digital, kerja apapun dibantu kecerdasan buatan.sehingga persaingan menjadi sangat kuat dan ketat. Kalau memproduksi produk pertanian belum bisa dilakukan oleh kecerdasan buatan. Padahal ke depan, sektor inilah yang akan menyelamatkan dunia,” tambahnya.
Made Agus mengamati fenomena yang sama terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Para pemodal mulai melirik sektor pertanian karena lebih menjanjikan dalam jangka panjang dan lebih ‘tahan banting’ terhadap disrupsi teknologi. Bahkan, banyak dari mereka yang diam-diam berinvestasi di tambak udang, lahan pertanian terpencil, hingga peternakan berskala besar.
“Tambak-tambak udang di NTB ini terus berkembang. Banyak yang tidak kita ketahui karena lokasinya jauh dan tertutup, tapi mereka terus berproduksi karena permintaan global meningkat. Pemodal-pemodal besar itu sudah menjadi pelaku langsung produksi pangan. Disaat yang lain sedang berlomba-lomba dalam gaya hidup serba digital,” ujarnya.
Meski begitu, ia tidak menampik bahwa digitalisasi tetap memiliki peran besar. Banyak petani dan pelaku usaha pangan kini mampu menjual produknya langsung ke konsumen melalui platform digital. Hal ini justru mempermudah distribusi tanpa perlu membuka toko fisik atau menyewa lapak mahal di pusat perbelanjaan.
“Sekarang menjadi petani orang sudah bisa jualan dari tengah sawah langsung hasil pertaniannya. Tanpa harus dibawa ke pasar, atau di toko. Kalau ada pemesanan, sudah ada kurir, ada marketplace, semua dimudahkan. Makanya produk utamanya tetap dari sektor riil, hasil panen, hasil ternak. Dan ini yang dibaca oleh pemodal-pemodal dunia,” jelasnya.
Dalam konteks daerah, Made Agus mengingatkan pentingnya melindungi dan mengembangkan komoditas lokal NTB yang bernilai tinggi seperti bawang Semalun, vanili Lombok, hingga mutiara. Disayangkan jika generasi – generasi muda kini justru meninggalkan pertanian yang menjadi tulang punggung.
“Vanili dari Lombok bisa dihargai jutaan per kilogram. Tapi tanpa perlindungan dan pengembangan yang serius, anak – anak muda juga tidak boleh meninggalkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan ini. pemerintah daerah harus memperhatikan ini,” paparnya.
Fenomena pemodal-pemodal besar dunia menggeluti pertanian ini menjadi cerminan bahwa di tengah arus digital yang serba cepat, sektor riil seperti pertanian dan peternakan tetap menjadi fondasi utama ekonomi dunia. Para pengusaha besar disebutnya tengah membaca arah perubahan tersebut dan mulai kembali ke akar: memproduksi kebutuhan paling dasar manusia, yaitu makanan.
“Bisnis itu harus peka terhadap perubahan. Kalau semua sudah bermain di dunia digital, maka sektor nyata seperti pangan bisa jadi rebutan besar ke depan. Soal pangan ini belum ada yang bisa menggantikan,” tutupnya.
Dengan tren ini, NTB sebagai daerah agraris memiliki peluang besar untuk menjadi lumbung pangan dan pusat investasi sektor agro. Namun semua itu harus diiringi dengan kesiapan sumber daya manusia, proteksi komoditas lokal, dan dukungan kebijakan pemerintah.(bul)