Lombok (ekbisntb.com) – Sejak 2019, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Lombok Barat telah menjalankan inisiatif ramah lingkungan dengan memanfaatkan sampah organik dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok sebagai sumber energi terbarukan berbasis biomassa. Program ini menjadi bagian dari strategi nasional co-firing untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan menekan emisi karbon.
Setiap bulan, sekitar 50 ton sampah organik seperti ranting dan dahan pohon diolah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF) atau lebih spesifik, Solid Recovered Fuel (SRF). Proses pengolahannya meliputi pemilahan, pengeringan, dan pencacahan sebelum digunakan sebagai bahan bakar alternatif di PLTU Jeranjang.

“Sejak uji coba pada 2019, kami terus memanfaatkan SRF dari TPA Kebon Kongok untuk mengurangi konsumsi batu bara,’’ ujar Yunistia Ariwibawa, Manager Unit Bisnis Pembangkit Jeranjang.
Saat ini, PLTU Jeranjang menggunakan rata-rata 50 ton biomassa per bulan dari TPA Kebon Kongok. Namun secara total, penggunaan berbagai jenis biomassa dari berbagai sumber telah mencapai 200–240 ton per hari, tergantung pada kondisi operasional dan pasokan.
“Penggunaan biomassa ini terus kami evaluasi dan tingkatkan secara bertahap,” imbuh Yunistia.
Pemanfaatan biomassa untuk co-firing PLTU terbukti menurunkan berbagai jenis emisi gas buang. Data dari PLN Indonesia Power menunjukkan penurunan emisi sebagai berikut: NOx (Oksida Nitrogen): turun 3,95%. SOx (Oksida Sulfur): turun 3,19%. CO2 (Karbon Dioksida): turun 1,1%. H2S (Hidrogen Sulfida): turun 14,1%. CO (Karbon Monoksida): turun hingga 50%.
Selain ramah lingkungan, program co-firing ini juga mematuhi regulasi emisi sesuai Peraturan Menteri LHK No. 15/2019.
Selain manfaat lingkungan, co-firing biomassa di PLTU Jeranjang juga berkontribusi terhadap efisiensi biaya produksi listrik. Dengan menggantikan sebagian batu bara, pembangkit dapat menekan beban operasional. “Substitusi biomassa ini membantu menurunkan biaya karena kita tidak sepenuhnya bergantung pada batu bara,” jelas Yunistia.
Meski menjanjikan, penggunaan biomassa tidak bebas dari tantangan. Nilai kalori biomassa lebih rendah dibanding batu bara, sehingga diperlukan penyesuaian teknis dalam pengoperasian. Proses pengeringan dan pencacahan juga penting agar biomassa siap digunakan secara efisien.
“Biomassa tidak bisa langsung menggantikan batu bara secara 1:1 karena perbedaan nilai kalorinya,” tutur Yunistia. Dengan program co-firing berbasis biomassa, PLTU Jeranjang menjadi salah satu pionir transisi energi bersih di Indonesia, sekaligus mendukung pengurangan emisi karbon dan pengelolaan sampah berkelanjutan. (bul)