Jakarta (ekbisntb.com) – Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menilai penurunan realisasi cukai hasil tembakau (CHT) dan produksinya perlu dievaluasi, terutama jika kenaikan cukainya terlalu tinggi.
Heri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 5 Juni 2024, mengatakan kenaikan cukai yang fluktuatif hingga eksesif dapat mempengaruhi penurunan penerimaan yang jauh lebih besar lagi.
Meskipun sudah ditetapkan sistem multiyears yang memudahkan pelaku usaha, Heri mengatakan besaran tarifnya juga harus diperhatikan dan jangan terlalu eksesif.
“Cukai kan bergantung pada CHT, jadi kenaikan ke depan harus hati-hati betul jangan sampai penerimaan cukai justru tidak optimal,” ucapnya.
Kebijakan CHT yang berlaku saat ini baik dari sisi tarif dan strukturnya dinilai belum efektif dalam menekan prevalensi perokok dan mengoptimalkan penerimaan negara.
Dalam paparan APBN Kita edisi Mei 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan penerimaan cukai mengalami penurunan sebesar 0,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang dipicu oleh merosotnya penerimaan CHT yang merupakan kontributor mayoritas penerimaan cukai.
Sementara itu, kebijakan kenaikan CHT sebesar 10 persen di 2024 dinilai tidak efektif dengan perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah dan rokok ilegal yang terlihat dari penurunan golongan 1 sebesar 3 persen year-on-year, tetapi terjadi kenaikan di golongan 2, yaitu 14,2 persen year-on-year.
Heri menjelaskan kenaikan harga rokok yang lebih tinggi dari inflasi akan mengubah perilaku perokok untuk menyesuaikan konsumsi rokoknya dengan pendapatannya.
Artinya, kesempatan perokok untuk berpindah konsumsi ke rokok yang lebih mudah dijangkau atau rokok murah akan semakin tinggi, bahkan ke rokok ilegal. Hal tersebut tentu merugikan kesehatan masyarakat dan adanya potensi penerimaan cukai yang hilang.
“Artinya, harus ada benteng lain selain cukai yang harus dikuatkan karena selama ini unsur pengendalian yang berjalan baru cukai tetapi tetap harus memperhatikan perlindungan industri dan penyerapan tenaga kerjanya, jadi harus hati-hati betul,” ujar Heri
Dalam menetapkan kebijakan cukai, Heri merekomendasikan peta jalan (roadmap) jangka panjang untuk struktur tarif cukai agar perhitungannya transparan.
“Jadi, memang perlu dibenahi (struktur tarif cukai) supaya semua tahu argumentasi dan rumusnya. Formula tarif cukainya juga harus jelas supaya kuat argumennya,” kata dia.
Terkait peralihan konsumsi ke rokok murah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menjelaskan banyaknya layer dalam struktur tarif cukai rokok mempengaruhi besarnya tarif cukai dan harga produk-produk tembakau di Indonesia.
“Perbedaan pungutan cukai dari masing-masing layer itu cukup signifikan. Ini yang memicu produsen berpindah dari satu layer ke layer lainnya dengan cara memproduksi barang sejenis bermerek baru dengan harga lebih murah,” kata Agus Menyoroti cepatnya pertumbuhan rokok yang lebih murah di golongan 2 dan 3, Agus menilai kerumitan tersebut perlu diselesaikan dengan membenahi struktur tarif cukai di Indonesia yang saat ini termasuk paling kompleks di dunia.
Hal tersebut dikarenakan penerapan struktur tarif cukai yang berlapis dapat mendorong menjamurnya merek rokok baru dengan harga yang lebih murah.
“Pemerintah harus berani memangkas gap pungutan cukai antara satu layer dengan layer lainnya untuk mempersempit perbedaan harga. Dengan demikian, pilihan konsumen ke produk yang lebih murah menjadi semakin sempit,” ungkapnya.
Senada dengan pernyataan Agus, berkaitan dengan struktur tarif cukai, Heri juga menyarankan jarak antara satu layer dengan layer lainnya dikecilkan secara optimal.
“Aturan ini juga perlu diimbangi dengan penetapan tarif cukai yang ideal dan tidak eksesif atau tidak terlalu tinggi untuk mengurangi perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah,” ujar Heri.(Ant)