HINGGA Juni tahun 2025, ditemukan sebanyak 5.076 kasus penyakit Tuberculosis (TBC) di NTB. Dari jumlah itu, 5.048 di antaranya merupakan Tuberkulosis Standar Obat (TB SO), 28 lainnya merupakan Tuberkulosis Resistensi Obat (TB RO).
Demikian disampaikan Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr.H. Lalu Hamzi Fikri kepada Ekbis NTB. Berdasarkan data, jumlah kasus TB yang telah diobati sebanyak 26,47 persen.

“Estimasi kasus TBC di tahun 2025 sebanyak 19.180 kasus. Dengan kasus TBC anak di pertengahan tahun sebanyak 417 kasus, dan TBC HIV sebanyak 68 kasus,” ujarnya, Kamis, 3 Juli 2025.
Dari 5.076 kasus yang dideteksi hingga pertengahan tahun ini, sebanyak 4.561 atau 90,35 persen telah mendapat penanganan TB SO dengan keberhasilan penanganan menyentuh angka 80,86 persen. 20 pasien lainnya mendapatkan penanganan TB RO dengan keberhasilan penanganan hingga 75 persen.
“99 persen kasus TBC di NTB merupakan TBC Sensitif Obat dan 1 persen dengan Resisten Obat. 67 persen terkonfirmasi Bakteriologis dan 33 persen terdiagnosis klinis,” terangnya.
Berdasarkam data penemuan kasus, Kota Mataram tercatat sebagai daerah dengan penemuan kasus tertinggi di NTB, mencapai 54,69 persen. Disusul oleh Dompu sebanyak 39.75 persen, Sumbawa Barat 38.62 persen, Kota Bima 35,42 persen.
Selanjutnya ada Lombok Timur dengan penemuan 27,39 persen, Sumbawa 27,17 persen, Lombok Barat 25,02 persen, Bima 22,21 persen, Lombok Utara 17,75 persen, dan Lombok Tengah 14,67 persen.
Berdasarkan jenis kelamin, 67 persen atau 2.806 kasus TBC menyerang laki-laki dari berbagai kelompok umur. Sementara, perempuan hanya 33 persen atau 1.647 kasus.
Dari sisi penanganan, Kabupaten Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat dan Bima telah mencapai target treatment enrollment TBC RO dengan persentase kasus telah diobati sejumlah 71,43 persen berdasarkan jumlah kasus RO terlapor.
“Belum ada kabupaten/kota yang mencapai target penerimaan pasien TBC untuk memulai pengobatan (treatment enrolment). TBC SO Persentase kasus telah diobati sebesar 89,40 persen berdasarkan jumlah kasus SO terlapor,” katanya.
Fikri menjelaskan, trend Keberhasilan pengobatan TBC cenderung menurun dari tahun 2022. Sehingga penting adanya penguatan Pengawas Menelan Obat (PMO) dan pengawasan yang ketat dari petugas perlu lebih ditingkatkan.
Tingginya kasus TBC di NTB menjadikan Direktur RSUP NTB, dr. Lalu Herman Mahaputra berencana membangun rumah sakit khusus paru-paru di provinsi ini.
Pembangunan rumah sakit paru-paru di NTB ini diharapkan bisa menjadi pertimbangan Gubernur, sehingga nantinya pemeriksaan kesehatan paru-paru akan terfokus di RS ini.
Untuk membangun RS paru-paru di daerah, Herman mengaku kurang memahami bagaimana perhitungannya, namun menurutnya tidak akan membutuhkan anggaran yang sangat besar. Apalagi, di NTB telah banyak dokter paru-paru.
Selain anggaran fisik, NTB lanjut Herman hanya membutuhkan fasilitas-fasilitas kesehatan seperti CT Scan, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).“Bangunan fisik saya tidak tahu hitungannya per meter per segi. Tapi kan saya lihat sudah layak di sini dan karena memang dokter kita banyak. Saya punya dokter paru saja lima,” katanya.
Tingginya jumlah masyarakat yang terserang penyakit did NTB diibaratkan sebagai gunung es yang sewaktu-waktu bisa meledak. Hal ini karena masyarakat NTB menyepelekan penyakit ini, sehingga enggan meminum obat yang berdampak pada pertumbuhan dan penyebaran penyakit yang semakin cepat. (era)