spot_img
26.5 C
Mataram
BerandaBisnisStatus Kawasan Konservasi Gili Tramena Hambat Investasi, Peluang PAD Menguap

Status Kawasan Konservasi Gili Tramena Hambat Investasi, Peluang PAD Menguap

Lombok (ekbisntb.com) – Status tiga gili di Lombok Utara, yakni Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air (Tramena), hingga kini masih ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Hal ini disayangkan, karena tiga kawasan strategis pariwisata di Kabupaten Lombok Utara ini mestinya bisa dibangun investor.

Kepala Bidang Planologi dan Pemanfaatan Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, Burhan, SP., MM, menegaskan bahwa secara aturan, aktivitas pembangunan di kawasan tersebut masih belum diperbolehkan. Hal ini merujuk pada surat edaran \ Kemenkopolhukam tahun 2023 terkait permasalahan tiga gili.

- Iklan -

“Surat edaran itu meminta kepada Kementerian LHK untuk mempercepat proses penyelesaian status kawasan dan kepada Kementerian ATR/BPN agar menunda pelayanan terhadap permohonan hak yang baru,” jelasnya, Jumat, 30 Agustus 2025.

Burhan menyebutkan, seluruh kawasn 3 gili adalah kawasan konservasi. Luas dengan kawasan lautnya 2.954 hektar. Pemerintah Provinsi NTB saat ini tengah mengupayakan penyelesaian melalui perubahan peruntukan ruang dalam RTRW. Proses ini harus melalui persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan. Jika sudah ada lampu hijau, barulah tim terpadu bisa bekerja dengan dukungan pembiayaan.

“Biaya perubahan peruntukan dan perubahan fungsi sesuai aturan menjadi tanggung jawab pengusul. Pemerintah provinsi menyiapkan skema sharing dengan para pemangku kepentingan,” ujarnya.

Dengan status hukum yang masih melekat sebagai kawasan konservasi, maka segala bentuk pembangunan atau pengajuan hak baru atas lahan di Gili Tramena belum bisa dilakukan secara legal.

Pemprov NTB berharap percepatan proses di tingkat pusat dapat memberikan kepastian hukum, baik bagi masyarakat maupun investor yang selama ini beraktivitas di kawasan wisata internasional tersebut.

Kepala Dinas LHK NTB Julmansyah pada Juli 2024 lalu menyampaikan, pelepasan status kawasan di Gili Tramena molor karena adanya perubahan di pemerintah baru yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Pasalnya, KLHK kini terpecah menjadi dua kementerian, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.

Saat itu, Dinas LHK NTB sudah mengajukan ke Kementerian LHK untuk pelepasan status 11 kawasan hutan di Gili Tramena yang rencananya akan diubah dari kawasan hutan konservasi menjadi area bukan kawasan hutan.

” Kami berusaha secepat mungkin, mudah-mudahan dengan dipisahnya Kementerian LH dan Kehutanan, bisa mempercepat proses perubahan fungsi dari tiga gili ini,” kata Julmansyah saat itu.

Diketahui, Pemprov NTB menargetkan presentasi usulan perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan pada 2024. Untuk perubahan status hutan, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 7,8 miliar. Untuk itu, Pemprov NTB intensif berkoordinasi Pemerintah Lombok Utara terkait biaya tersebut.

Pemprov NTB akan melepas 11 titik kawasan hutan di Gili Tramena (Trawangan, Meno, dan Air), Kabupaten Lombok Utara. Perubahan status kawasan hutan konservasi menjadi area bukan kawasan hutan dilakukan demi memuluskan investasi.

Para investor juga mengeluhkan terhambatnya investasi di Gili Tramena sejak ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2021. Penetapan tersebut membuat aktivitas perizinan pembangunan hotel maupun vila praktis tidak dapat dilakukan.

H Santo Miftahul Arifin salah seorang perwakilan investor menyebutkan, keputusan itu menjadi anomali karena di kawasan tiga gili tidak terdapat hutan sebagaimana dasar penetapan kawasan konservasi.

“Kami bingung, karena sebagian dari kami sebelumnya sudah investasi, namun ketika kami mau bangun izin tidak bisa dikeluarkan karena status kawasan terkunci oleh peraturan baru ini,” ujarnya, di Mataram.

Santo menambahkan, sebagian besar lahan di tiga gili berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama masyarakat maupun pihak swasta, termasuk investor dari luar negeri. Namun, sejak 2021, upaya pembangunan vila maupun hotel tidak bisa direalisasikan karena izin tidak mungkin diterbitkan.

Kondisi ini dinilai merugikan daerah karena potensi investasi yang seharusnya bernilai ratusan miliar rupiah tidak dapat masuk. Harga tanah di kawasan gili sendiri mencapai Rp6–7 juta per meter persegi, sehingga pembangunan vila seluas 100 meter saja bisa mencapai Rp600 juta lebih, belum termasuk nilai tanah.

“Kalau investor membangun hotel atau resort, tentu nilainya bisa mencapai ratusan miliar. Ini jelas berpengaruh pada potensi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah),” kata Santo.

Investor berharap pemerintah daerah serius mendorong perubahan status kawasan agar tidak lagi berstatus konservasi. Menurutnya, jika persoalan status lahan tidak segera diselesaikan, pembangunan di tiga gili berpotensi stagnan lebih lama dan peluang devisa daerah terus terhambat.

Pengusaha properti, Lalu Heri Prihatin, menyoroti lambannya penyelesaian polemik status lahan di kawasan tiga gili, Kabupaten Lombok Utara. Menurutnya, pemerintah daerah perlu segera membentuk tim kerja cepat agar kepastian hukum bagi investor dapat terjamin.

“Jangan dibiarkan berlarut-larut. Mestinya ada tim penyelesaian masalah sehingga ada kepastian hukum. Kalau tidak, investor akan ragu masuk,” tegas Lalu Heri.

Ia menilai, persoalan lahan yang semula sederhana kini kian kompleks karena dibiarkan tanpa penanganan serius.

“Masalah yang tadinya kecil ibarat cacing, kini sudah jadi naga. Baru setelah besar ributnya muncul,” katanya.

Selain status lahan yang masih tercatat sebagai kawasan hutan konservasi, Lalu Heri mengungkapkan investasi di tiga gili didominasi oleh pihak asing hingga 95 persen. Kondisi ini membuat peran masyarakat lokal minim dan sering kali hanya menjadi pekerja tanpa mendapatkan keuntungan lebih besar.
“Kalau status kawasan tidak jelas, otomatis investasi baru tidak akan masuk,” ujarnya.

Ia mendesak pemerintah daerah bersama kementerian terkait untuk segera mengevaluasi status kawasan dan memastikan regulasi yang jelas.

“Kalau masalah ini terus dibiarkan, daerah hanya akan jadi penonton. Kita harus punya harga diri sebagai tuan rumah di gili,” pungkasnya.(bul)

Artikel Yang Relevan

Iklan












Terkait Berdasarkan Kategori

Jelajahi Lebih Lanjut