Bima (ekbisntb.com) – Setiap musim kemarau, hamparan tambak di Desa Talabiu, Sondosia, dan Sonolo Kabupaten Bima, berubah menjadi ladang kristal putih. Para petani garam bergegas menyiapkan petak-petak lahan, berbekal peralatan sederhana dan sabar menghadapi panas yang menyengat. Garam menjadi satu-satunya panen besar dalam setahun, penentu cukup tidaknya kebutuhan keluarga hingga musim berikutnya.

Namun, hidup dari garam tidak pernah mudah. Hasil panen hanya bisa diandalkan di bulan-bulan kering, sementara harga di pasaran tak menentu, kadang menguntungkan, lebih sering mengecewakan. Meski begitu, para petani tetap bertahan, menjaga tambak mereka agar tetap menghasilkan.

Salah seorang petaninya adalah Asia. Setiap musim, ia tak pernah absen menyusuri dua petak tambak miliknya yang luasnya tak sampai satu hektar. Dengan topi anyaman menutupi wajah dari sengatan matahari, Asia memastikan lahannya siap dipanen.
“Kalau musim kemarau cepat, mulai bulan Juli. Kalau tidak, biasanya Agustus sampai September,” ceritanya kepada Ekbis NTB pada Senin 25 Agustus 2025.
Dalam masa produksi, ia hanya bisa panen sekali seminggu. Sekali panen, Asia menghasilkan sekitar 30 karung. Satu karung berisi 50 kilogram garam. “Sekarang harga Rp32 ribu per karung. Paling mahal biasanya Rp40 ribu,” katanya.
Namun, ia tak bisa sepenuhnya berharap pada harga. Setiap tahun, ada masa harga anjlok hingga titik terendah. “Kalau turun sekali, bisa Rp10 ribu per karung. Itu semurah-murahnya,” keluhnya.
Padahal, untuk sekali musim, Asia mengeluarkan modal antara Rp3 juta hingga Rp5 juta. Besarnya modal berbeda, tergantung luas lahan. Uang itu habis untuk biaya tenaga kerja, bahan, dan kebutuhan lain agar tambak bisa berjalan.
Hasil panen Asia biasanya dibawa ke pengepul terdekat. Petani yang memiliki gudang bisa menumpuk 300 sampai 400 karung garam untuk menunggu harga naik. Tetapi Asia tidak selalu bisa melakukannya. “Kalau hujan, mau taruh di mana. Jadi harus dijual semua,” katanya.
Keuntungan terasa hanya saat harga stabil. Jika harga jatuh, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan keluarga. “Kalau harga bagus, lumayan. Tapi kalau turun, ya berat,” ia tersenyum kecut.
Saat ditanya soal keberadaan pabrik garam yang kabarnya ada di Bima, Asia mengaku tidak tahu menahu. “Nggak tau saya. Kalau kami jual garam ya itu di pengepul aja. Kami tidak tahu ada pabrik garam. Kayaknya petani yang lain juga nggak tahu ada pabrik itu,” tegasnya.
Di luar musim garam, Asia mencari nafkah dengan pekerjaan serabutan. Apa saja ia kerjakan untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Baginya, tambak garam hanyalah satu-satunya kesempatan panen dalam setahun. “Kalau tidak ada kerja lain, tidak cukup,” akunya.
Meski begitu, Asia tetap menjaga semangat. Bagi dia, garam bukan hanya komoditas. Setiap kristal putih yang dihasilkan dari tambak adalah buah dari kesabaran dan kerja keras di bawah terik matahari.
Cerita Asia mencerminkan wajah petani garam Bima. Mereka bertahan dengan siklus tahunan, di tengah naik turunnya harga, sembari terus berharap pemerintah bisa menjamin kestabilan harga garam. “Kalau bisa harga jangan naik turun, biar kami bisa hidup tenang,” harap Asia. (hir)