Lombok (ekbisntb.com) – Dalam beberapa waktu terakhir, sudah jarang menjumpai pengecer di pinggir jalan menjual BBM Pertalite. Pemerintah makin melakukan pengetatan penjualan BBM subsidi ini melalui SPBU-SPBU.

Di Kota Mataram, pengecer sudah rata-rata hanya menjual Pertamax berwarna biru dalam botol eceran. Begitu juga pengecer eceran yang menggunakan mesin SPBU mini.

Lalu Wahidin, salah seorang pengecer BBM di Kota Mataram, mengaku kini Pertalite tidak tersedia di lapaknya. Ia terpaksa menjual Pertamax meskipun harganya lebih tinggi.
“Sekarang yang beli Pertamax (di pengecer) hanya motor-motor kecil yang terpaksa karena kehabisan BBM di jalan. Kebijakan pengaturan BBM subsidi ini tidak tepat. Masyarakat seperti dipaksa mandiri di tengah ekonomi yang sulit,” kata Wahidin, Minggu, 24 Agustus 2025.
Menurutnya, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi akan lebih relevan jika kondisi politik, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat sedang baik. Namun saat ini, ekonomi sedang tertekan sehingga kebijakan tersebut justru semakin menyulitkan masyarakat kecil.
“Negara kalau sedang punya uang malah jadi tukang bangunan, bangun IKN (Ibu Kota Nusantara). Kalau sudah ndak punya uang, larinya ke rakyat” tambahnya.
Lalu Wahidin adalah potret suara rakyat berharap pemerintah tidak hanya mengatur distribusi BBM, tetapi juga memastikan ketersediaan dan keterjangkauan harga bagi rakyat kecil.
Hiswana Migas NTB: Pertalite Hanya untuk Kendaraan dengan Barcode
Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) NTB, Reza Nurdin, membenarkan bahwa saat ini sudah diterapkan pembatasan pelayanan kepada konsumen Pertalite. Menurutnya, SPBU hanya melayani konsumen kendaraan roda dua dan roda empat yang sudah menggunakan barcode.
“Untuk non-kendaraan seperti petani, nelayan, atau usaha kecil, pembelian Pertalite maupun Solar harus menggunakan surat rekomendasi (surkom) yang diterbitkan melalui aplikasi XStar. Surat ini hanya bisa diterbitkan oleh dinas terkait, bukan lagi oleh desa/kelurahan seperti dulu,” jelas Reza.
Ia mengungkapkan, sistem lama membuka peluang penyalahgunaan karena surat rekomendasi yang diterbitkan desa tidak terverifikasi. Banyak kasus di mana alokasi BBM jauh melebihi kebutuhan riil.
“Contohnya, kebutuhan riil petani mungkin hanya 50 liter per bulan, tapi di surat rekomendasi bisa mencapai 500 liter. Selisih inilah yang rawan diselewengkan. Karena itu, BPH Migas melakukan evaluasi dan meluncurkan aplikasi XStar,” tegas Reza.
Reza menambahkan, SPBU wajib melayani masyarakat yang membawa surat rekomendasi resmi dari aplikasi XStar.
“Dasar kami menyalurkan BBM adalah surat rekomendasi itu. Kalau SPBU menolak melayani padahal konsumen membawa surkom resmi, maka SPBU yang salah,” katanya.
Sebagai informasi, Aplikasi XStar merupakan sistem digital yang dikembangkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dengan dukungan Pertamina dan pemerintah daerah. Aplikasi ini dirancang untuk memastikan distribusi BBM bersubsidi berjalan tepat sasaran, tepat volume, dan tepat guna.
Fitur utama aplikasi XStar antara lain : Penerbitan Surat Rekomendasi Digital, dimana OPD yang berwenang dapat menerbitkan surat rekomendasi bagi nelayan, petani, UMKM, transportasi umum, dan layanan publik. Setiap surat dilengkapi QR Code atau barcode yang bisa langsung dipindai di SPBU, sehingga proses menjadi lebih cepat dan akurat.
Sistem otomatis XStar mampu menghitung kebutuhan BBM riil dan mencegah penggelembungan alokasi. Data yang terkumpul juga bisa dipakai kepala daerah dalam pengajuan kuota BBM ke BPH Migas, sehingga penyaluran lebih transparan. (bul)